Minggu, 25 April 2010

MOHAMMAD NATSIR

Sebuah Pemberontakan Tanpa Drama


DIA, Mohammad Natsir (17 Juli 1908�6 Februari 1993), orang yang puritan. Tapi kadang kala orang yang lurus bukan tak menarik. Hidupnya tak berwarna-warni seperti cerita tonil, tapi keteladanan orang yang sanggup menyatukan kata-kata dan perbuatan ini punya daya tarik sendiri. Karena Indonesia sekarang seakan-akan hidup di sebuah lingkaran setan yang tak terputus: regenerasi kepemim-pinan terjadi, tapi birokrasi dan politik yang bersih, kesejahteraan sosial yang lebih baik, terlalu jauh dari jangkauan. Natsir seolah-olah wakil sosok yang berada di luar lingkaran itu. Ia bersih, tajam, konsisten dengan sikap yang diambil, bersahaja.

Dalam buku Natsir, 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan, -Ge-orge McTurnan Kahin, Indonesianis asal Amerika yang bersimpati pada perjuangan bangsa Indonesia pada saat itu, bercerita tentang pertemuan pertama yang mengejutkan. Natsir, waktu itu Menteri Penerangan, berbicara apa adanya tentang negeri ini. Tapi yang membuat Kahin betul-betul tak bisa lupa adalah penampilan sang menteri. "Ia memakai kemeja bertambalan, sesuatu yang belum pernah saya lihat di antara para pegawai pemerintah mana pun," kata Kahin.

Mungkin karena itulah sampai tahun ini-seratus tahun setelah kelahirannya, 15 tahun setelah ia mangkat-tidak sedikit orang menyimpan keyakinan bahwa Mohammad Natsir merupakan sebagian dunia kontempo-rer kita. Masing-masing memaklumkan keakraban dirinya dengan tokoh ini. Di kalangan Islam garis keras, misalnya, banyak yang berusaha melupakan kedekatan pikirannya dengan demokrasi Barat, seraya menunjukkan betapa gerahnya Natsir menyaksikan agresivitas -misionaris Kristen di tanah air ini. Dan di kalangan Islam -moderat, dengan politik lupa-ingat yang sama, tidak sedikit yang melupakan periode ketika bekas perdana menteri dari Partai Masyumi- ini memimpin Dewan Dakwah- Islamiyah; seraya mengenang masa tatkala perbedaan pendapat tak mampu memecah-belah bangsa ini. Pluralisme, waktu itu, sesuatu yang biasa.

Memang Mohammad Natsir hidup ketika persahabatan lintas ideologi bukan hal yang patut dicurigai, bukan suatu pengkhianatan. Natsir pada dasarnya antikomunis. Bahkan keterlibatannya kemudian dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), antara lain, disebabkan oleh kegusaran pada pemerintah Soekarno yang dinilainya semakin dekat dengan Partai Komunis Indonesia. Masyumi dan PKI, dua yang tidak mungkin bertemu. Tapi Natsir tahu politik identitas tidak di atas segalanya. Ia biasa minum kopi bersama D.N. Aidit di kantin gedung parlemen, meskipun Aidit menjabat Ketua Central Committee PKI ketika itu.

Perbedaan pendapat pula yang mempertemukan Bung Karno dan Mohammad Natsir, dan mengantar ke pertemuan-pertemuan lain yang lebih berarti. Waktu itu, pe-ngujung 1930-an, Soekarno yang menjagokan nasionalis-me-sekularisme dan Natsir yang mendukung Islam sebagai bentuk dasar negara terlibat dalam polemik yang panjang di majalah Pembela Islam. Satu polemik yang tampaknya tak berakhir dengan kesepakatan, melainkan saling mengagumi lawannya.

Lebih dari satu dasawarsa berselang, keduanya "bertemu" lagi dalam keadaan yang sama sekali berbeda. Natsir menjabat menteri penerangan dan Soekarno presiden dari negeri yang tengah dilanda pertikaian partai politik. Puncak kedekatan Soekarno-Natsir terjadi ketika Natsir sebagai Ketua Fraksi Masyumi menyodorkan jalan keluar buat negeri yang terbelah-belah oleh model federasi. Langkah yang kemudian populer dengan sebutan Mosi Integral, kembali ke bentuk negara kesatuan, itu berguna untuk menghadang politik pecah-belah Belanda.

Mohammad Natsir, sosok artikulatif yang selalu memelihara kehalusan tutur katanya dalam berpolitik, kita tahu, akhirnya tak bisa menghindar dari konflik keras dan berujung pada pembuktian tegas antara si pemenang dan si pecundang. Natsir bergabung dengan PRRI/Perjuang-an Rakyat Semesta, terkait dengan kekecewaannya terhadap Bung Karno yang terlalu memihak PKI dan kecenderungan kepemimpinan nasional yang semakin otoriter. Ia ditangkap, dijebloskan ke penjara bersama beberapa tokoh lain tanpa pengadilan.

Dunianya seakan-akan berubah total ketika Soekarno, yang memerintah enam tahun dengan demokrasi terpimpinnya yang gegap-gempita, akhirnya digantikan Soeharto. Para pencinta demokrasi memang terpikat, menggantungkan banyak harapan kepada perwira tinggi pendiam itu. Soeharto membebaskan tahanan politik, termasuk Natsir dan kawan-kawannya. Tapi tidak cukup lama Soeharto memikat para pendukung awalnya. Pada 1980 ia memperlihatkan watak aslinya, seorang pemimpin yang cenderung otoriter.

Dan Natsir yang konsisten itu tidak berubah, seperti di masa Soekarno dulu. Ia kembali menentang gelagat buruk Istana dan menandatangani Petisi 50 yang kemudian memberinya stempel "musuh utama" pemerintah Soeharto. Para tokohnya menjalani hidup yang sulit. Bisnis keluarga mereka pun kocar-kacir karena tak bisa mendapatkan kredit bank. Bahkan beredar kabar Soeharto ingin mengirim mereka ke Pulau Buru-pulau di Maluku yang menjadi gulag tahanan politik peng-ikut PKI. Soeharto tak memenjarakan Natsir, tapi dunianya dibuat sempit. Para penanda tangan Petisi 50 dicekal.

Mohammad Natsir meninggalkan kita pada 1993. Dalam hidupnya yang cukup panjang, di balik kelemahlembut-annya, ada kegigihan seorang yang mempertahankan sikap. Ada keteladanan yang sampai sekarang membuat kita sadar bahwa bertahan dengan sikap yang bersih, konsisten, dan ber-sahaja itu bukan mustahil meskipun penuh tantang-an. Hari-hari belakangan ini kita merasa teladan hidup seperti itu begitu jauh, bahkan sangat jauh. Sebuah alasan yang pantas untuk menuliskan tokoh santun itu ke dalam banyak halaman laporan panjang edi-si ini.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/07/14/LK/mbm.20080714.LK127656.id.html


Lelaki dari Lembah Gumanti


FOTO itu usang sudah: warnanya pudar dan -ker-tasnya tak lagi mulus.- Namun, hari itu, 3 Februari 1993, mendapatkan foto tersebut, Mohammad Natsir gembira bukan main.

Sambil berbaring, matanya tak lepas foto dengan gambar rumah beratap joglo dengan halaman yang luas itu. Tak jauh dari rumah tersebut terdapat sungai jernih dengan jembatan kayu jati berukir di atasnya.

Saat itu, Mohammad Natsir- tengah terkulai lemah di sebu-ah ruang di Rumah Sakit Cipto Ma-ngunkusumo, Jakarta. Natsir- me-minta Hamdi El Gumanti, kini 60 tahun, salah seorang peng-urus Dewan Dakwah Islamiyah Jakarta, mencarikan foto-foto semasa kecilnya di Alahan Panjang, Sumatera Barat.

Kota sejuk itu sangat istimewa bagi Natsir. Di sanalah, seabad silam dia lahir dan menghabiskan masa kecilnya, sebelum berpindah-pindah tempat tinggal.

Mendapatkan permintaan itu, Hamdi terbang ke Alahan Panjang. "Saya kaget. Sebelumnya Pak Natsir tidak pernah seperti itu," katanya mengenang. Setelah membongkar berbagai album, akhirnya dia menemukan foto yang diinginkan Natsir. Segera dia kembali ke Jakarta. Syukurlah, dia tidak terlambat. Tiga hari setelah melihat-lihat foto itu, Natsir pun berpulang.

Semasa hidupnya, Natsir selalu rindu mengunjungi tempat masa kecilnya. Namun, karena kesibukan, keinginan itu tak pernah kesampaian. Pada 1970-an, dia pernah berencana mene-ngok kampung bersama Syahrul Kamal, salah satu kolega. "Namun Syahrul Kamal keburu meninggal," kata Hamdi, yang juga masih- terhitung kemenakan Syahrul.

Pada 1991, keinginan untuk mengunjungi tempat-tempat masa kecilnya kembali mencuat. Ketika itu Natsir memang tengah berkunjung ke Padang dan Bukittinggi, untuk meresmikan gedung Islamic Center. Rencananya, selepas acara itu, Natsir mampir ke Alahan Panjang, Solok, dan Maninjau. Tapi rencana tinggal rencana. Mungkin karena terlalu bersemangat, ketika meresmikan Islamic Center, Natsir naik gedung hingga ke lantai empat. Sakit jantungnya kumat. Akhirnya, Natsir hanya sempat ke Solok. "Di sana, Bapak menunjuk beberapa tempat yang sempat diingatnya," kata kata Aisyah Rahim Natsir, anak kelima Natsir. Akhirnya, hanya kertas lusuh itu yang menjadi alat Natsir bernostalgia.

l l l

ALAHAN Panjang, yang dulu dikenal dengan nama Lembah Gumanti, adalah dataran tinggi yang subur. Kebun kopi, sayur-mayur, dan persawahan terhampar di sana.

Udaranya pun sejuk akibat se-ring disiram hujan karena terletak di kaki Gunung Talang. Danau kembar, yakni Danau Diatas dan Danau Dibawah, yang terdapat di kota itu membuat pemandangan Alahan Panjang rancak di mata. Di kota ini me-ngalir pula sungai Batang Hiliran Gumanti.

Sungai itu tak bisa dipisahkan dengan hidup Natsir. Di sebuah rumah di tepi su-ngai itulah Mohammad Natsir dilahirkan pada 15 Juli 1908. Muhammad Idris Sutan Saripado, ayah Natsir, yang saat itu juru tulis, tinggal bersama di rumah Sutan Rajo Ameh, saudagar kopi yang kaya-raya.

"Mungkin karena kakek saya bersahabat dengan ayah Pak Natsir sehingga mereka diajak tinggal di rumah itu," kata Hamdi, cucu Sutan Rajo Ameh.

Rumah itu besar dan berha-laman luas. Di sisi kirinya meng-alir Batang Hi-liran Gumanti, yang mengalir dari Danau Diatas. Oleh pemiliknya, keluarga Sutan Rajo Ameh, rumah dibagi dua: ia dan keluarganya tinggal di bagian kiri, sisanya ditem-pati Muhammad Idrus Saripado, istri dan anaknya.

Sayangnya, tidak banyak orang yang mengetahui kehidupan Natsir semasa di sana. Maklum, orang-orang yang satu generasi dengan Natsir sudah tidak ada. Selain itu, Natsir memang tidak lama tinggal di Alahan Panjang: sebelum dia masuk Holland Inlander School (HIS) atau sekolah rakyat, dia pindah ke Maninjau.

Satu-satunya orang yang me-ngenal Natsir kecil adalah Hamdi. Itu pun berdasarkan cerita Siti Zahara, neneknya. "Semasa kanak-kanak Natsir orangnya lugu, jujur, dan sudah kelihatan akan jadi pemimpin," kata Hamdi menirukan ucapan Zahara. Selain itu, masih mengutip ucapan Zahara, Natsir juga suka mengerjakan pekerjaan rumah tangga. "Dia kerap merapikan kamar tidur dan suka membantu mencuci piring."

Seperti umumnya anak lelaki Minang pada masa itu, Natsir kecil juga kerap pergi ke surau, yang tak jauh dari rumahnya, untuk mengaji. Surau itu bernama Surau Dagang, didirikan para pedagang dari nagari-nagari di sekitar Alahan Panjang. Dalam buku biografi memperi-ngati ulang tahunnya yang ke-70, dikisahkan ketika kanak-kanak, hampir setiap malam, Natsir memilih tidur di surau berselimut kain sarung.

Masa kecil Natsir dihabiskan di berbagai tempat mengikuti ayahnya yang bekerja sebagai pegawai kolonial Belanda. Setelah dari Alahan Panjang, Natsir sempat tinggal di Maninjau dan bersekolah hingga kelas dua. Kemudian pindah ke Padang, untuk bersekolah di HIS Adabiyah. Tak lama berselang, dia pindah ke Solok. Dan ketika sang ayah pindah ke Makassar, Natsir kembali ke Padang tinggal bersama kakaknya. Di sana dia menamatkan pendidikan dasarnya sebelum akhirnya melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onder-wijs (MULO) di Bandung.

Kini, Alahan Panjang tidak banyak berubah. Lembah Gumanti masih berhawa sejuk. Ladang sayuran dan kebun kopi masih terhampar luas. Namun tempat kelahiran Natsir agak berubah. Dihajar bom Belanda dalam agresi militer, rumah dibangun kembali pada 1957. Kini rumah yang dihuni seorang kerabat itu lebih kecil dari ukuran sebelumnya.

Di samping kiri rumah masih mengalir Batang Hiliran Gumanti dengan airnya yang jernih. Jembatan masih ada namun sudah diganti beton. Meski demikian, nama jalan di depan rumah itu tetap Jembatan Berukir. Nama Natsir juga diabadikan sebagai nama salah satu pesantren selain juga nama perpustakaan yang menyimpan buku-buku karyanya.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/07/14/LK/mbm.20080714.LK127657.id.html

Dendam Anak Juru Tulis


SETIAP kali menatap bangunan kukuh berdin-ding batu di Kota Padang itu, hati remaja itu selalu bergetar. Di gedung sekolah Belanda, Holland Inlander School (HIS) Padang, itulah ia pernah memendam kecewa: sebagai anak juru tulis, ia pernah ditolak belajar di sana.

Itulah sekolah dambaan M. Natsir sejak kecil. Tapi pemerintah Belanda hanya menerima anak pegawai negeri dan anak saudagar kaya.

Pada usia 7-8 tahun, sekolah- Natsir sempat tak menentu. Saat itu ayahnya, Mohammad Idris Sutan Saripado, pindah kerja dari Bonjol ke Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Natsir ikut ayahnya ke sana.

Di Maninjau ia belajar di sekolah rakyat berbahasa Indonesia, yang di Jawa dikenal dengan sekolah Ongko Loro. Itu pun tak resmi. "Saya belajar, tapi tak ba-yar uang sekolah dan tidak terdaftar sebagai murid," kata Natsir suatu ketika. Karena itu, ia sekolah sembunyi-sembunyi: jika- inspektur sekolah datang, oleh guru kelas Natsir diminta bersembunyi-menyingkir atau pulang duluan. Jika inspektur itu sudah pergi, ia boleh balik lagi.

Belakangan Natsir mendengar beberapa tokoh pergerakan mendirikan sekolah HIS partikelir di Padang untuk menampung bumiputra yang tidak diterima di sekolah pemerintah. Namanya Adabyah. Kegiatan belajar-nya sore hari. Tak sementereng HIS, sekolah ini hanya berdinding kayu dan beratap rumbia.

Tapi di sini pun Natsir hanya bertahan beberapa bulan. Ayahnya yang dipindahkan ke Alahan Panjang membuatnya -harus pindah sekolah lagi. Tapi kali ini Natsir sekolah di kelas II HIS Solok. Untuk itu, ia dititipkan di rumah Haji Musa, seorang saudagar. Di tempat inilah Natsir belajar bahasa Arab dan mengaji fikih. Dalam uji coba sekolah di HIS, Natsir muda berhasil mengikuti pelajaran dengan baik bahkan melampaui prestasi kawan-kawan kelasnya.

Tak lama Natsir di Solok, ayahnya kembali pindah, kali ini ke Makassar. Adapun Natsir tetap tinggal di rumah Haji Musa. Keluarga ini memperlakukan Natsir seperti keluarga sendiri. Di rumah, Natsir terbiasa bangun pagi untuk membersihkan rumah dan memompa air.

Siang di HIS, sore hari Natsir belajar di madrasah, dan malam mengaji Al-Quran. Tiga tahun ia tinggal di rumah itu. Di sekolah Diniyah kelas III ia terpilih menjadi guru bantu untuk kelas I. Untuk itu, ia dibayar Rp 10.

Tapi tak lama di Solok, kakak Natsir, Uni Rabiah, memintanya kem-bali ke Padang. Di ibu kota Sumatera Barat itu ia diterima di kelas V HIS. Sekolah yang empat- tahun lalu pernah menolaknya kemudian membuka tangan.- Ter-bayar sudah kesumat Natsir muda.

Di Padang, Natsir tinggal di sebuah gudang bersama pamannya, Macik Rahim, yang bekerja memilah kopi di sebuah pabrik di dekat lapangan Skipdi, di pinggiran pantai Padang. Tapi Natsir mengaku jiwanya lebih bebas jika dibanding saat tinggal menumpang di Solok. "Karena terbebas dari tekanan perasaan berutang budi," tulis Natsir suatu ketika.

Hidup di Padang adalah ujian berat bagi Natsir kecil. Ia harus mengurus keperluan hidupnya sendiri. Pada usia 11 tahun, ia mencuci dan memasak sendiri makanannya.

Beban hidupnya di Padang agak ringan setelah kakak perempu-annya, Uni Rabiah, bisa menyusul. Mereka kemudian tinggal di dekat Pasar Gadang, Pulau Air Palinggam.

Setelah lulus HIS, Natsir mendengar sekolah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Pa-dang-setingkat sekolah mene-ngah pertama-memberikan beasiswa. Syaratnya: siswa harus mendapat nilai bagus dalam uji coba selama tiga-enam bulan.

Natsir yang terbiasa bekerja keras ikut serta. Bersyukur ra-pornya bagus dan ia mendapatkan beasiswa Rp 20 per bulan. Uang itu digunakannya untuk menolong kakak perempuannya dan membeli buku.

Di MULO Natsir belajar bermain biola. Ia juga aktif di kepanduan organisasi Pemuda Islam, Jong Islamiten Bond. Di MULO Natsir untuk pertama kalinya duduk berdampingan dengan murid-murid Belanda.

Di Jong Islamiten Bond inilah Natsir mengenal Nur Nahar, murid perempuan yang saat itu aktif dalam Jibda-organisasi wanita Jong Islamiten Bond. Kelak Nur Nahar menjadi istri yang mendampinginya hingga akhir hayat.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/07/14/LK/mbm.20080714.LK127658.id.html


Menunggu Beethoven


"Engkau dari MULO mana tadinya?" "Dari MULO Padang." "Eh, pantaslah!"


Pertanyaan itu singkat tapi terasa meleceh-kan. Hal itu selalu dita-nyakan meneer Belanda di sekolah saat bercakap dalam bahasa Belanda dengan Mohammad Natsir. Karena terkesan mengejek, anak muda itu menyimpan kesumat.

Meski sama-sama dari Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), kemampuan bahasa Belanda Natsir tak sefasih teman-teman dari Jawa. Bahasa Belanda Natsir tak parah-parah amat: menulis dia oke, tapi kalau bercakap-cakap, dia tak lancar. Sekolah Natsir di Padang memang memakai bahasa Indonesia sebagai pengantar.

Padahal, layaknya -sekolah -Hin-dia Belanda di masa itu, hampir- semuanya berbahasa pengantar Belanda. Begitupun di Algemene Middelbare School (AMS) di Bandung. Pada 1927, saat Natsir masuk sekolah ini, AMS, sekolah menengah umum-setingkat sekolah menengah atas sekarang- tergolong sekolah elite dan mahal.

Berdiri pertama kali pada 1919, AMS diperuntukkan bagi lulusan MULO yang ingin melanjutkan sekolah tapi tak mungkin ditampung di Hogere -Burger School, yang hanya diperuntukkan bagi anak-anak Belanda, Eropa, atau elite pribumi. Sekolah ini hanya ada di Jawa. Dan hanya anak orang berpangkat tinggi yang bisa masuk.

Natsir termasuk yang beruntung. Nilai-nilainya tergolong bagus, sehingga anak pensiunan juru tulis ini mendapat beasiswa Rp 30 masuk AMS Afdeling A-II. Jurusan ini hanya diberikan di AMS Bandung, khusus studi sastra dan humaniora Barat. "Sekolah itu satu-satunya yang memberi pelajaran bahasa Latin, kebudayaan, dan filsafat Yunani," kata Tisna, 86 tahun, warga Jalan Cihapit, Bandung. Tisna masuk AMS pada 1939.

Di Bandung, Natsir tinggal di rumah eteknya, Latifah, di -Jalan Cihapit. Jalan itu tak -berapa jauh dari sekolahnya di Beliton Straat-sekarang Jalan Belitung. Cukup 15 menit saja berjalan kaki lewat jalan besar.

Tiga bulan pertama di AMS adalah ujian berat bagi Natsir. Sadar selalu diejek karena tak fasih bercakap Belanda, ia melecut diri. Tiap sore, dia belajar bahasa Latin. Selepas magrib, ia melanjutkan pelajaran sekolah. Nyaris tak ada hari libur.

Tiap hari, selepas sekolah, ia membenamkan diri di perpustakaan Gedung Sate untuk melahap buku-buku di bibliotek. Targetnya: satu buku satu minggu. Beberapa bagian dibacanya keras-keras di rumah. Ia juga memberanikan diri terus-menerus bercakap bahasa Belanda.

Di saat kemampuan bercakapnya bertambah, ia ikut lomba deklamasi bahasa Belanda yang digelar sekolah pada akhir tahun. Mengambil satu syair karangan Multatuli berjudul "De Bandjir", ia berlatih dengan kawannya, Bachtiar Effendy. Kawannya satu kampung yang duduk di kelas IV-B (khusus eksakta) ini berbahasa Belanda dengan baik. Dia juga dikenal pandai berdeklamasi.

Saat hari lomba tiba, Natsir se-ngaja memakai baju adat Minang. Sepuluh menit berdeklamasi, tepuk tangan riuh menyambut. Di mukanya tampak Meneer gurunya. Tetap dengan senyum dan tepuk tangan sinis.

Natsir mendapat juara I lomba itu. Hadiahnya buku karang-an Westenenk, Waar Mensen Tigger Buren Ziyn (Manusia dan Harimau Hidup Sejiran). Natsir puas karena sudah membayar kesumatnya. "Setidaknya nama MULO Padang yang selama ini diejek sudah tertebus," tulis Natsir dalam suratnya kepada anak-anaknya, 50 tahun lampau.

Meski begitu, hati Natsir masih sedikit "panas" jika melihat gurunya itu. Di kelas V-A (kelas II sekolah menengah atas), ia bertemu lagi dengan si Meneer. Kali ini ia mengajar ilmu bumi ekonomi. Di tengah pelajaran ia suka menyindir pergerakan politik kaum nasionalis. Maklum, siswa AMS pada tahun itu, 1927-1929, suka ikut bicara soal politik. Dan si Meneer tak suka.

Suatu kali, Meneer memberikan pelajaran pengaruh penanaman tebu dan pabrik gula bagi rakyat di Pulau Jawa. Ia menyuruh muridnya menulis makalah. Butuh dua pekan bagi Natsir untuk menyelesaikan tugas paper-nya itu. Tiap hari ia membenam-kan diri di perpustakaan Gedung Sate, mencari literatur tentang pabrik gula itu. Dikumpulkannya jurnal terbitan kaum pergerak-an. Juga notula perdebatan dalam Volksraad-semacam Dewan Perwakilan Rakyat.

Pada harinya, Natsir mempresentasikan analisisnya di muka kelas. Ia menyodorkan bukti bahwa tidaklah benar Jawa menerima keuntungan dari pabrik gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Yang untung, kata dia, tetap saja kaum kapital dan pejabat bupati yang memaksa rakyat menyewakan tanahnya kepada pabrik dengan harga rendah.

Empat puluh menit menyampaikan analisisnya dengan bahasa Belanda yang rapi, seluruh kelas sunyi-senyap. Natsir melirik gurunya. Meneer itu diam. Natsir puas.

Hidup dalam didikan sekolah Belanda, Natsir melek terhadap dam-pak buruk penjajahan. Jiwa perlawanannya menyala-nyala.- Ketertarikannya pada politik mulai- bertumbuh. Apalagi, beberapa bulan sebelumnya, ia bertemu dengan A. Hassan, pria keturunan India asal Singapura yang kemudian menjadi ahli agama di organisasi Persatuan Islam. Kepada Hassanlah, Natsir datang menimba agama, me-nulis, dan berdiskusi.

Masa-masa itu Natsir juga memasuki Jong Islamiten Bond (JIB) cabang Bandung. JIB didirikan Haji Agus Salim dengan Wiwoho Purbohadijoyo. Di situlah awal perkenalan Natsir dengan Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, dan Kasman Singodimedjo, yang belakangan menjadi tokoh politik Masyumi, partai yang didirikannya. Di sana juga ia mengenal Nur Nahar, pe-rempuan yang kelak menjadi istrinya. Natsir menjadi Wakil Ketua JIB Bandung pada 1928-1932.

Sebagai aktivis politik, Natsir juga rajin berinteraksi dengan -tokoh pergerakan waktu itu. Ia pun mendengarkan pidato Soe-karno. Juga pada rapat umum Partai Nasional Indonesia yang diselenggarakan 17 Oktober 1929 di gedung bioskop Oranje-Casino, Bandung. Saat itu, Soekarno dengan sengaja mengundang para pemimpin organisasi Islam yang ada di Bandung.

Namun Natsir tak sepaham dengan Soekarno soal cara memandang Islam. Ia memilih berjuang dengan caranya, menulis di majalah bulanan Pembela Islam yang tersebar ke seluruh Indonesia. Oplahnya 2.000 eksemplar. Cukup banyak untuk ukuran masa itu.

Amien Rais, yang bergaul lama dengan Natsir, mengatakan Natsir muda sesungguhnya seorang kutu buku. Ia melahap buku-buku filsafat Barat, baik kuno maupun modern. Ia membaca buku sejarah, sastra, dan rajin meng-ikuti berita internasional dari berbagai jurnal.

Natsir juga merajang habis karya-karya Snouck -Hurgronje di perpustakaan, di antaranya Nether-land en de Islam, buku yang memaparkan strategi Hurgronje dalam menghadapi Islam. Buku ini membuat Natsir bertekad melawan Belanda melalui pendidikan.

Jika sedang tak membaca atau sekolah, sesekali Natsir menonton bioskop. Kadang ia bervakansi ke Jaarbeurs-pasar malam yang digelar setahun sekali di Bandung. Di awal kedatangannya di Bandung, saban Sabtu, Natsir pergi berjalan kaki ke kota. Ia biasanya mampir makan sate di Kedai Madrawi di depan kantor polisi. Lalu berkeliling sebentar di alun-alun dan Pasar Baru. Setelah puas, pulanglah ia ke Cihapit dengan berjalan kaki. Kali ini ia memutar lewat Hotel Homan. Di trotoar di depan hotel itu, ia menunggu orkes Hotel Homan yang selalu memainkan Beethoven tiap Sabtu petang. Lalu ia pulang sambil merindukan biolanya yang tertinggal di kampung.

Sumber:
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/07/14/LK/mbm.20080714.LK127659.id.html

Setelah Diskusi Sore di Kampung halaman


Lebar jalan itu 1,5 meter. Hanya cukup dilalui satu mobil. Tak panjang, cuma sekitar satu kilometer. Sepi. Tak ramai mobil melintas di jalan yang terletak dekat Jalan Otto Iskandar Dinata, Bandung itu. Papan nama jalan itu pun sudah tidak terlalu jelas. Huruf-hurufnya kabur digosok usia. Namun toh tetap bisa dibaca: Jalan Pakgade.

Pada zaman Belanda, namanya Gank Belakang Pakgade. Menurut sejarawan Ajip Rosidi, dulu banyak orang keturunan India berkulit keling tinggal di situ. Tapi kini hampir tak tersisa. Kalau belakangan Anda sempat lewat jalan itu, ada tanah kosong tak berbangunan di sana. Entah, kini milik siapa. Tapi, "Setahu saya, dulunya di situ rumah Hassan," kata Tan Kim, 53 tahun, yang tinggal di jalan itu. "Hassan siapa, saya tidak tahu."

Hassan yang dimaksud adalah Ahmad Hassan, pria keturunan India asal Singapura yang kemudian menjadi ahli agama di organisasi Persatuan Islam (Persis). Ia tinggal di Bandung pada akhir 1920-an, setelah turun kapal di Surabaya. Dan di rumah Hassan di Jalan Pakgade itulah Mohammad Natsir kerap datang untuk menimba ilmu agama.

Bahkan, dari -diskusi--diskusi sore hari di sanalah, jalan hidup Natsir berbelok. Natsir muda yang awalnya bercita-cita menjadi ahli hukum itu pun mulai tertarik (lagi) dengan agama dan memutuskan untuk melempar kesempatan kuliah hukum.

Perjumpaan keduanya terjadi ketika Natsir berumur 20 tahun dan duduk di kelas 5 Algemeene Middelbare School (2 SMA). Adalah Fachroeddin Al-Khahiri-pelajar AMS keturunan India yang bertubuh tinggi, bersuara lantang, agak emosional, penggembira, dan kalau tertawa berkakakan-yang membawa Natsir ke rumah A. Hassan. "Pemikiran maju Natsir bertemu dengan pemahaman agama Hassan yang reformis, maka cocok sekali," kata Ketua Umum Persis KH Shiddiq Amien. Mereka cocok, meski usia terpaut 20 tahun.

Kecocokan itu yang membuat Natsir kerap singgah. Kadang dengan Fachroeddin, tapi lebih sering sendiri. Menurut kesaksian Natsir, di rumahnya yang amat sederhana, di belakang Pajak Gadai, Bandung itu, Hassan menu-lis, mengedit, mencetak, -bahkan mengepak sendiri buku yang diterbitkannya. Sebuah mesin cetak kecil dengan leter timah diletakkan di atas ampar di beranda rumah itu. "Tertarik benar Aba kepada Tuan Hassan itu," tulis Natsir dalam surat kepada anak-anaknya. "Beliau seorang alim yang original. Beliau seorang ahli perusahaan yang praktis."

Meski amat sibuk, Hassan, yang ahli menggesek biola seperti Natsir, selalu menghentikan kegiatannya begitu Natsir datang, dan mengajaknya bercakap-cakap. "Per-cakapan dan pertukar pikir-an dengan Tuan A. Hassan itu banyak sekali pengaruhnya bagi jiwa dan arah hidup Aba selanjutnya. Sudah tentu yang dibicarakan soal agama. Dicampur dengan soal politik, soal perge-rakan kemerdekaan," tulis Natsir dalam suratnya.

Diskusi itu kembali membangkitkan minat Natsir pada agama, yang pernah dipelajarinya di Solok, "Tetapi sudah bertahun-tahun terbengkalai." Natsir mulai kembali mempelajari bahasa Arab dan Al-Quran dari dua terjemahan yang diberikan A. Hassan, terjemahan bahasa Inggris oleh Muhammad Ali dan Tafsir Al-Furqan karya A. Hassan. Begitu bersemangatnya Natsir mempelajari Islam, hingga hampir-hampir ia ketinggalan pelajaran di sekolah.

Sebenarnya, menurut peng-akuan Natsir, ada tiga guru yang mempengaruhi pemikirannya. A. Hassan, Haji Agus Salim, dan Ahmad Sjoorkati. Yang terakhir adalah ulama asal Sudan, pendiri Al-Irsyad, dan juga guru A. Hassan. Tapi intensitas pertemuanlah yang membuat Natsir lebih dekat kepada Hassan.

Setelah menjadi wakil Fach-roeddin dalam Jong Islamiten Bond Bandung, Natsir kian kerap berkunjung. Setiap sore. Yang membuat Natsir betah datang ada-lah keterbukaan dan kelu-gasan Hassan dalam beragama. Berbeda dengan kiai dan -ulama tradisional yang menjejalkan il-mu dan tak mau dibantah, Hassan cenderung menyuruh Natsir mencari sendiri jawaban akan keingintahuannya.

Hassan yang lancar berbahasa Arab dan Inggris itu, bersama para pendiri Persis, memang memelopori pendekatan baru dalam beragama. Dia melarang taklid (membebek) pada pendapat ulama, membolehkan umat Islam membuat fatwa sendiri menurut zamannya, dan menghilangkan batas-batas mazhab yang membelenggu. Bahkan tak segan ia mengubah pendapatnya jika muridnya mendapati dalil yang lebih sahih.

"Karena Natsir bergabung dengan tokoh pendiri Persis dan A. Hassan, maka Natsir mendapatkan pemikiran baru yang tercerahkan. Natsir muncul sebagai tokoh intelektual muda," kata Profesor Dadan Wildan, guru besar Universitas Padjadjaran yang pernah menjadi Sekretaris Umum Persis.

Tapi bukan hanya Natsir yang terpengaruh. Meski tak pernah masuk kepengurusan Persis, Natsir dianggap memberi warna modern pada organisasi ini. "Sehingga Persis waktu itu dikenal sebagai kelompok modernis atau pembaharu dalam Islam," kata Shiddiq Amien. Natsir jugalah yang memperkenalkan sistem organisasi yang modern dan tertib di Persis.

Pertemuannya dengan Hassan dan para tokoh Persis membuat Natsir banting setir. Cita-citanya untuk dapat menjadi meester in de rechten, seorang ahli hukum, pun ditanggalkannya. Padahal, ketika menerima ijazah AMS Afd AII pada 1930 yang berangka memuaskan, Natsir berhak mendapat beasiswa kuliah di fakultas hukum di Batavia atau Fakultas Ekonomi di Rotterdam, Belanda. "Aneh! Semua (beasiswa) itu tidak menerbitkan selera Aba sama sekali," tulis Natsir kepada anak-anaknya.

Menolak beasiswa sebesar Rp 130 sebulan, Natsir -memilih mendirikan sekolah -partikelir dengan gaji Rp 17,50. Setelah ber-diskusi dengan Hassan, Natsir merintis sebuah sekolah kecil di Jalan Lengkong Besar Nomor 16. Untuk mengirit ongkos hidup, ia pindah dari kontrakannya di Ciateul ke gedung sekolah. Tinggal di satu kamar dekat dapur.

Ini adalah proyek idealis. Ia ingin membuat lembaga pendidikan Islam yang modern. Jauh dari kesan pesantren dan madrasah pada saat itu. Ia ingin menggabungkan ilmu pengetahuan umum yang diajarkan di sekolah Belanda dengan pelajar-an agama Islam. "Maka sistem pendidikan Islam itu, ringkasnya, adalah ditujukan kepada manusia yang seimbang. Seimbang kecerdasan otaknya dengan keimanannya kepada Allah dan Rasul," kata Natsir.

Meski memiliki lembaga pendidikan sendiri, Natsir tidak melupakan Persis. Menurut Shiddiq Amien, Natsir jugalah yang mempengaruhi sistem pendidik-an pesantren Persis pertama di Jalan Pajagalan, Bandung. Tidak seperti di pesantren tradi-sional yang santrinya mengaji ramai-ramai, pesantren Persis mewajibkan santrinya masuk kelas. Di Persis, santri setingkat SMA sudah diajar psikologi, -sosiologi, logika Yunani, dan astronomi. "Pak Natsir juga yang memperkenalkan sistem -administrasi dalam pendidikan pesantren," tuturnya.

Natsir saat itu masih berusia 23 tahun. Ia hanya punya semangat. Bahkan sebelum mengambil -kursus guru selama setahun, dia sama sekali tak punya teori soal membuat sekolah. Rumah kecil yang menjadi cikal bakal sekolah Pendidikan Islam (Pendis) itu pun tak mampu menampung banyak murid.

Peruntungan sekolah Natsir berubah pada suatu sore. Bertongkatkan payung hitam, Pak Haji Muhammad Yunus-orang kaya, salah seorang tokoh Islam saat itu-mendatanginya di gedung sekolah. Mukanya berseri-seri tatkala berkata kepada Natsir: "Ada gedung yang lebih besar akan kosong. Di jalan ini juga, nomor 74. Ruangannya lebih banyak, halamannya luas, tempat murid bermain," kata Yunus.

Di situlah ide Natsir mulai membuahkan hasil. Dengan mengurangi hafalan, Natsir menstimulus muridnya berpikir -mandiri dan tidak minder. Khotbah Jumat tidak diberikan oleh guru atau ustad, tapi juga oleh murid. Mereka juga diajari berkebun di lahan satu hektare di Ciateul. Mereka bahkan, "Belajar piano untuk meninggikan nilai belajar mengaji."

Murid juga diminta membuat sendiri lagu-lagunya, "Agar tidak membeo kepada nyanyian yang sudah ada." Setidaknya sekali setahun para murid diminta mementaskan lagu, sandiwara, musik, dan kerajinan tangan. Tonil Sekolah Pendis saat itu bahkan amat terkenal di Bandung.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/07/14/LK/mbm.20080714.LK127660.id.html

Bersikap Melalui Tulisan


Mohammad -Natsir pernah terpesona pada ajaran nasio-nalisme yang dikumandangkan Partai Nasional Indonesia. Dia pun cukup rajin mendatangi rapat Partai yang senantiasa mengge-lorakan perlawanan terhadap penjajah Belanda itu. Bahkan Natsir pernah menghadiri orasi Soekarno, yang ketika itu terkenal sebagai Pemimpin Besar Partai Nasional Indonesia, di Bandung.

Tapi Natsir terperanjat ketika dia mendengar ejekan terhadap Islam semakin sering muncul di tengah kampanye Partai Nasional Indonesia pada kurun 1920-1930. Ada yang mencela poligami dan aturan Islam. Bahkan Dr Sutomo pernah mengatakan, "Pergi ke Digul lebih baik daripada pergi naik haji ke Mekah."

Sadarlah Natsir bahwa gerakan kebangsaan yang dipelo-pori Soekarno dan kawan-kawannya mulai menyemai bibit kebencian dan meremehkan Islam. Padahal, pada saat itu, Partai Nasional Indonesia dan Partai Syarekat Islam Indonesia-yang berdiri lebih dulu 15 tahun ketimbang Partai Nasional-sama-sama gigih menentang kolonialisme.

Kondisi politik ketika itu membuat Natsir gelisah. Dia banyak belajar pengetahuan Islam dari A. Hassan, gurunya di Bandung, yang kemudian bahkan membuat Natsir muda rela melepaskan kesempatan kuliah hukum di Leiden, Belanda. Tapi dia juga dihadapkan pada perbedaan pandangan politik yang tajam. Paham nasionalisme yang dia banggakan, justru oleh kelompok Partai Nasional Indonesia, "digunakan" sebagai landasan untuk merendahkan Islam.

Natsir pun tak tinggal diam. Bersama teman-temannya di ma-jalah Pembela Islam ia mulai mengeluarkan tulisan pedas yang menyerang balik kelompok nasionalis. Majalah bulanan se-ukuran 12 x 19 sentimeter itu kemudian boleh dikata sebagai media yang isinya sarat dengan berbagai perdebatan dan pemikiran. Mulai dari urusan fikih, pertentangan antaraliran agama dan golongan, sampai ke tema politik dan kebangsaan.

Tak mengherankan, karena begitu "beratnya" Madjallah Comite "Pembela Islam"-begitu yang tertulis di halaman depannya-menyuarakan berbagai soal itu, semua penulis menggunakan na-ma samaran atau inisial. Maklum, penguasa Belanda tidak pernah membiarkan artikel kritis seperti itu bermunculan di tanah jajahan.

Ancaman hukuman delik pers (pers delict) terhadap pengelola dan penulisnya, hingga peng-hentian penerbitan, selalu mem-ba-yangi mereka. Menurut guru besar luar biasa Jurusan Sejarah Universitas Padjadjaran, Bandung, Profesor Dadan Wildan Annas, karena kondisi politik saat itu, dan untuk menyembunyikan diri dari serangan lawan politiknya, penggunaan nama samaran memang hal wajar.

Inisial yang muncul antara lain AH, AL, AM, WS, dan MS. Ahmad Hassan, guru agama Natsir, memakai inisial AH. Sedangkan Natsir sendiri "menyembu-nyikan" identitas dengan AM atau A. Moechlis, serta Is. Namun, beberapa penulis dari luar tetap memasang nama asli mereka, seperti Moenawwar Chalil,- ulama dari Kendal, Jawa Tengah; dan Abikoesno Tjokrosoejoso, aktivis Partai Syarekat Islam Indonesia.

Sebenarnya, meski mengguna-kan nama samaran, para pembaca setia Pembela Islam -tetap tahu siapa identitas asli -penulis, dari gaya tulisan mereka. AH umumnya mengulas -masalah fikih, antaraliran Islam dan golongan kaum muslimin. Dia juga -banyak mengkritik kaum Alawiyin (Ba'alwi), yang selalu meminta kedudukan lebih tinggi dalam urusan agama Islam. Tampak A. Hassan sangat pro Al-Ir-syad dan kaum Wahabi yang tak sejalan dengan Ar-Rabitah Alawiyin, Ba'alwi, dan aliran Islam mazab Syafii yang banyak dianut di Indonesia. Sedangkan AM atau A. Moechlis lebih banyak meng-ulas masalah politik, kebangsaan, dan Islam yang lebih luas.

Yang paling seru adalah "pertempuran" antara Natsir dan kelompok nasionalis, yang disebut sebagai "Soekarno cs". Dalam tulisan-tulisannya, Natsir ingin memberikan garis pemisah tegas antara perjuangan kemerdekaan berdasar kebangsaan dan yang berdasar cita-cita Islam. Hal itu makin dikuatkan oleh artikel berjudul "Kebangsaan Muslimin". Tulisan ini-yang merupakan reaksi atas penghinaan kaum nasionalis terhadap Islam-sangat menggemparkan, hingga Pembela Islam disebut sebagai "Pembelah Islam".

Toh, Natsir jalan terus. Dia bahkan juga mengkritik kaum bid'ah dalam pergerakan kemerdekaan. Menurut dia, kaum bid'ah adalah mereka yang suka mengadakan kegiatan maulud, pesta besar khatam Quran anak-anaknya, dan pesta perkawinan yang berlebihan. Natsir menganggap kaum bid'ah banyak bergabung dalam Partai Syarekat Islam Indonesia. Tulisan di Pembela Islam edisi 62 misalnya: kalaoe pergerakan politiek Islam membenarkan kaoem ahli bid'ah masoek djadi anggotanja, apakah beda pergerakan politiek Islam ini dengan partij politik jang berasas kebangsaan jang menerima anggotanja dari orang-orang Islam tjap "hanya bibir"?

Kritik Natsir dan kawan-ka-wan terhadap kaum nasional-is-atau aliran Islam yang tak sejalan dengan pemikiran dan kelompoknya dalam Pembela Islam-memang keras. Namun Nat-sir tetap maju membela Soe-karno, yang selama ini dia kritik, ketika dia diadili pemerintah kolonial Belanda sebelum dibuang ke Ende. Bahkan selama di pembuangan itu, Soekarno paling sering berkorespondensi dengan kelompok Pembela Islam.

Sayang, jejak Pembela Islam kini hanya samar-samar. Kantornya sudah tak bisa dikenali lagi. Dalam salah satu edisi di majalah itu, alamat pengelola-nya disebutkan ada di Jalan Lengkong Besar 90, Bandung. Tapi, setelah ditelusuri, yang ada hanya nomor 88 lalu lompat ke 92. Di antara dua bangunan itu, berdiri sebuah rumah dalam gang buntu kecil, tanpa nomor dan tertulis Panti Pijat Mitra Sehat. Orang yang tinggal di sana tak satu pun tahu tentang keberadaan rumah nomor 90, apalagi bekas kantor Pembela Islam. Namun, menurut Dedy Rahman, anak perintis Pesantren Persis, Jalan Lengkong Besar 90 kini menjadi gedung Universitas Pasundan, yang sebelumnya adalah hotel.

Satu lagi petunjuk juga tak berbekas. Ada satu alamat kantor Pembela Islam lain yang tercantum dalam majalah edisi 66, ya-itu di Pangeran Soemedangweg 39, Bandung. Tempat itu kini dikenal sebagai Jalan Otto Iskandar Dinata 233. Di sana berdiri kantor sebuah bank. Bangunan aslinya sudah dipugar total. "Di tempat ini, Natsir muda sering berdiskusi dengan A. Hassan, Haji Zamzam, dan Haji Muhammad Yunus, tiga tokoh penting Persa-tuan Islam," ujar Dadan.

Bahkan lembaga yang dekat dengan Natsir pun hanya memiliki "kenang-kenangan" terbatas. Pengurusan Pusat Persatuan Islam (Persis) di Bandung hanya punya fotokopi majalah tersebut. Itu pun tidak lengkap. Ketua Umum Pengurus Pusat Persis, Shiddiq Amien, sebenarnya sudah lama berencana menyimpan dan mengumpulkan semua edisi Pembela Islam. Bahkan dia sudah menyiapkan satu ruangan di lantai dua untuk menyimpan koleksi majalah itu. Tapi usahanya tak kunjung berhasil. "Banyak keluarga yang masih tidak rela dan memilih menyimpan (majalah) di rumah. Padahal tidak dibaca, kalau di sini kan banyak orang yang bisa mengaksesnya," katanya.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/07/14/LK/mbm.20080714.LK127661.id.html


Saat Mesra dengan Bung Karno

"Bung Natsir, kita ini dulu berpolemik, ya, tapi sekarang jangan kita buka-buka soal itu lagi." "Tentu tidak. Dalam menghadapi Belanda, bagaimana pula? Nanti saja."



Percakapan mesra di antara dua petinggi negeri itu terjadi pada 1946, ketika ibu kota Republik berada di Yogyakarta. Soekarno menjadi presiden, sedangkan Mohammad Natsir menjabat Menteri Pe-ne-rang-an pada kabinet yang dipimpin Perdana Menteri Sutan Sjahrir.

Pada 1930-an kedua bapak bangsa itu pernah terlibat polemik tajam di surat kabar. Soe-karno menganjurkan paham nasionalisme dan mengkritik Islam sebagai ideologi seraya memuji "sekularisasi" yang dilakukan Mustafa Kemal Ataturk di Turki. Sedangkan Natsir menyayangkan hancurnya Turki Ottoman, sambil menunjukkan akibat-akibat negatifnya. Tulisan-tulisan Natsir jernih dan argumentatif.

Tatkala Indonesia merdeka, keduanya berjumpa lagi. Kali ini bukan di medan gagasan yang abstrak, melainkan di ranah perjuangan yang konkret melawan Belanda. Soekarno menjadi proklamator dan presiden, sedangkan Natsir tiga kali menjadi Menteri Penerangan dalam tiga kabinet Sutan Sjahrir berturut-turut pada 3 Januari 1946 sampai 27 Juni 1947. Jabatan yang sama ia emban dalam kabinet Mohammad Hatta pada 29 Januari 1948 hingga 19 Desember 1948.

Sejak awal, ketika Sjahrir mengusulkan Natsir menjadi Menteri Penerangan, Presiden Soekarno tidak keberatan. Justru ia menyambut dengan mengatakan, "Hij is de man (bahasa Belanda, artinya dialah orangnya)." Barangkali Soekarno teringat akan pengalamannya ketika berpolemik dan mengakui kepiawaian Natsir dalam menyusun kata-kata.

Di Istana Yogyakarta, Presiden Soekarno kerap mengundang teman dan pejabat Republik untuk sarapan bersama. Natsir termasuk orang yang sering menerima undangan itu. Hubungan keduanya amat dekat dan hangat. Bisa dibilang, tak ada pidato Presiden pada 17 Agustus yang dibuat tanpa melalui persetujuan Natsir, Menteri Penerangan saat itu.

Menjelang 17 Agustus, bila Soekarno mengetahui Natsir tidak berada di Yogyakarta, ia akan memerintahkan stafnya mencari menteri andalan itu. Biasanya Natsir terlebih dulu membuat kerangka pidato. Pada acara sarapan pagi di Istana, ia mempersilakan Soekarno membaca konsep pidato buatannya dan menerangkan apa yang belum jelas.

Bila Soekarno telah menyetujui konsep pidato tersebut, Natsir pulang ke penginapannya dan berkurung selama sehari semalam untuk menuliskan pidato peringatan proklamasi kemerdekaan itu. Setelah selesai, pidato tertulis diserahkan kepada Presiden. Soekarno biasanya menggodok lagi, menyesuaikan pidato itu dengan gaya bahasanya yang khas, dengan kalimat yang bergelombang dan berulang-ulang, tapi isinya tak menyimpang dari konsep asli yang dibuat Natsir.

Pernyataan-pernyataan -resmi lain yang dibuat Presiden biasanya juga diparaf terlebih dulu oleh Natsir sebagai Menteri Penerangan. "Kalau Pak Natsir belum paraf, pernyataan Presiden itu tak akan disebarkan," kata Bachtiar Effendi, ahli politik Islam yang banyak meneliti perihal Masyumi.

Kedekatan Soekarno dan Natsir terlihat pula di saat kritis menjelang agresi militer Belanda kedua. Ketika itu pemerintah mendapat tawaran dari Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru agar Presiden Soekarno meng-ungsi ke India. Nehru akan mengirimkan pesawat untuk menjemput Soekarno di Yogyakarta.

Presiden dan kabinet serta-merta menerima tawaran tersebut. Spontan pula Soekarno meminta Natsir ikut bersamanya pergi ke India. Sayangnya, Belanda lebih dulu menyerbu dan menawan para pemimpin Republik, sedangkan pesawat yang dikirim Nehru terhenti di Singapura.

Namun, sebelum tertawan, Soekarno, Hatta, dan Natsir sempat menyiapkan pesan kepada rakyat Indonesia agar tidak menyerah dan tetap mempertahankan kemerdekaan. Natsir, yang ketika itu terbaring sakit di Rumah Sakit Bethesda, menyelundupkan naskah pidato tersebut melalui Wakil Menteri Penerangan A.R. Baswedan.

Pidato tersebut tak dapat lagi disiarkan melalui radio yang sudah diduduki Belanda. Baswedan lantas meminta pertolongan Mr Sumanang memperbanyak dengan cara menstensil. Di Jakarta, pidato itu akhirnya bisa disiarkan melalui harian Keng Po.

Natsir juga ikut menyusun radiogram yang dikirimkan kepada Menteri Kemakmuran Mr Sjafroeddin Prawiranegara yang sedang berada di Bukittinggi, Sumatera Barat. Radiogram itu berisi kuasa agar Sjafroeddin membentuk pemerintahan darurat di Sumatera.

Radiogram serupa dikirimkan kepada Sudarsono, L.N. Palar, dan A.A. Maramis yang sedang berada di India. Isinya berupa perintah agar mereka mendirikan pemerintahan di pembuangan bila Sjafroeddin gagal membentuk pemerintahan darurat di Sumatera.

Bekas Menteri-Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra mendengar langsung dari Natsir betapa di awal kemerdekaan semua bapak bangsa berjuang tulus mempertahankan Republik yang masih bayi. "Ketulusan di antara kami amat tinggi dan perbedaan tidak ditonjolkan," ujar Natsir seperti ditirukan Yusril.

Tatkala berpolemik pada 1930-an, Soekarno dan Natsir sesungguhnya juga saling menghormati pendapat masing-masing dan menjaga tali silaturahmi. Sewaktu Soekarno dituntut di Pengadilan Bandung oleh penjajah Belanda, majalah Pembela Islam yang diasuh Natsir menurun-kan tulisan-tulisan yang membela Soekarno. Salah satunya tulisan tajam dari Haji Agus Salim berjudul "Hakim, Hukum, dan Keadilan".

Dalam satu suratnya dari pembuangan di Endeh, Flores, Soe-karno balas memuji lawan diskusinya itu: "Alangkah baiknya kalau Tuan punya mubalig-mu-balig bermutu tinggi seperti Tuan Natsir." Tak mengherankan pula bila atas izin Soekarno, surat-surat itu kemudian diterbitkan oleh Pembela Islam dalam bentuk brosur berjudul: "Surat-surat dari Endeh".

Puncak kemesraan hubungan Soekarno dan Natsir terlihat pada saat pengajuan mosi kembali ke negara kesatuan oleh Natsir di parlemen Republik Indonesia Serikat. Sebagai Ketua Fraksi Masyumi, Natsir mengusulkan agar negara-negara bagian yang tergabung dalam Republik Indonesia Serikat membubarkan diri dan kemudian bergabung lagi dalam Republik Indonesia.

Saat berdebat di parlemen, Natsir memuji-muji mutu dan kepribadian Soekarno dan Hatta sebagai negarawan dan pemimpin nasional. Dan ia mengusulkan agar keduanya dipilih kembali sebagai Presiden dan Wakil Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Untuk membentuk negara kesatuan itu, dibuat Panitia Persiap-an yang terdiri atas utusan semua negara bagian. Dalam panitia itu, Mr Sjafroeddin Prawira-negara dari Masyumi mengusulkan agar di masa peralihan sebaiknya dibentuk kabinet presidentil. Tujuannya agar tercipta stabilitas pemerintahan, mengingat ketika itu belum ada undang-undang pemilihan umum yang menjadi syarat mutlak kabinet parlementer.

Namun usul itu ditolak. Masyumi kalah suara menghadapi Partai- Nasional Indonesia dan Partai Sosialis Indonesia yang masih menginginkan sistem parlementer. Keputusan itu tak cuma mengecewakan Masyumi,- tapi juga Soekarno, yang kewenangannya sebagai presiden di sistem pe-merintahan parlementer amat terbatas.

Maka, ketika mosi kembali ke negara kesatuan berhasil memenangi suara mayoritas di parlemen, Soekarno tak ragu menjawab pertanyaan wartawan tentang siapa yang akan memimpin kabinet. "Natsir dari Masyumi karena mereka mempunyai konsepsi untuk menyelamatkan Republik melalui konstitusi." Mosi itu sekarang dikenal sebagai Mosi Integral karena mengembalikan Indonesia dari negara serikat menjadi negara kesatuan.

Natsir pun menjadi perdana menteri. Dia memilih Sultan Hamengku Buwono IX sebagai wakil perdana menteri. Saat membentuk kabinet, ia menghadapi kesulitan karena Partai Nasional Indonesia dan Partai Komunis Indonesia tak mendukung. Hampir saja ia menyerahkan mandat kembali kepada Presiden. Tapi Soekarno-sebagai sesepuh Partai Nasional Indonesia-tetap mendukungnya dan memintanya membentuk kabinet tanpa partai itu.

Akhirnya Natsir membentuk kabinet yang terdiri atas 18 menteri. Kabinet ini dikenal sebagia zakenkabinet alias kabinet ahli lantaran orang-orangnya dipilih sesuai dengan keahlian masing-masing ketimbang pertimbangan perwakilan partai.

Sayangnya, Kabinet Natsir hanya berumur tujuh bulan. Ironis sekali, terpilihnya Natsir menjadi perdana menteri justru menjadi awal retaknya hubungannya dengan Presiden Soekarno.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/07/14/LK/mbm.20080714.LK127662.id.html

Menteri dengan Jas Bertambal

Dari balik lemari yang menjadi sekat ruang tamu, Sitti Muchliesah bersama empat adik dan sepupunya mencuri dengar pembicaraan ayahnya, Mohammad Natsir, dengan seorang tamu dari Medan. Hati remaja-remaja itu berbunga ketika mendengar si tamu hendak menyumbangkan mobil buat ayah mereka.

Lies�panggilan Sitti�me-nyang----ka mobil Chevrolet Impala- yang sudah terparkir di depan rumahnya di Jalan Jawa 28 (kini Jalan H.O.S. Cokroaminoto), Jakar-ta Pusat, itu akan menjadi milik- keluarganya. Sedan besar- buatan Amerika ini tergolong "wah" pada 1956. Saat itu Natsir, yang pernah menjadi Menteri Penerangan dan Perdana Menteri, hanya punya mobil pribadi bermerek DeSoto yang sudah kusam.

Aba-demikian anak-anaknya memanggil Natsir-ketika itu masih anggota parlemen dan memimpin Fraksi Masyumi. "Dia ingin membantu Aba karena mobil yang ada kurang memadai," kata putri tertua Natsir yang saat itu baru masuk usia 20 tahun.

Harapan anak-anak naik mobil Impala buyar saat ayah mereka menolak tawaran dengan amat halus agar tidak menyinggung perasaan tamunya. "Mobil itu bukan hak kita. Lagi pula yang ada masih cukup," Lies menirukan ucapan ayahnya ketika mereka bertanya.

Nasihat itu begitu membekas di hati Lies, kini 72 tahun. Aba dan Ummi Nurnahar-ibunda Lies-selalu berpesan kepada anak-anaknya, "Cukupkan yang ada. Jangan cari yang tiada. Pandai-pandailah mensyukuri nikmat."

Ketika sang ayah menjadi Menteri Penerangan pada awal 1946, Lies mengenang mereka tinggal seadanya di rumah milik sahabat Natsir, Prawoto Mangkusasmito, di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Sewaktu pusat pemerintah pindah ke Yogyakarta, keluarga Natsir menumpang di paviliun milik Haji Agus Salim di Jalan Gereja Theresia, sekarang Jalan H Agus Salim.

Periode menumpang di rumah orang baru berakhir ketika mereka menempati rumah di Jalan Jawa pada akhir 1946. Rumah tanpa perabotan ini dibeli pemerintah dari seorang saudagar Arab dan kemudian diserahkan untuk Menteri Penerangan. "Kami mengisi rumah itu dengan perabot bekas," kata Lies.

Selama menjadi menteri, Natsir jarang bertemu dengan keluarga karena lebih banyak berdinas di Yogyakarta. Di sana pula dia pertama berjumpa dengan guru besar dari Universitas Cornell, George McTurnan Kahin. "Pakaiannya sungguh tidak menunjukkan ia seorang menteri dalam pemerintahan," tulis Kahin dalam buku memperingati 70 tahun Mohammad Natsir.

Dia melihat sendiri Natsir mengenakan jas bertambal. Kemejanya hanya dua setel dan sudah butut. Kahin, yang mendapat info dari Haji Agus Salim me-ngenai sosok Natsir, belakangan tahu bahwa staf Kementerian Penerangan mengumpulkan uang membelikan pakaian supaya bos mereka terlihat pantas sebagai seorang menteri.

Penampilan Natsir tidak berubah saat menjadi Perdana Menteri Negara Kesatuan Republik Indonesia pada Agustus 1950. Keluarga Natsir menempati rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur (sekarang Tugu Proklamasi), Jakarta Pusat. Rumah di Jalan Jawa yang sempit dan kusam di-nilai tidak layak buat pemimpin pemerintah. Rumah di Jalan Proklamasi itu lengkap dengan perabot-an sehingga Natsir dan keluarganya hanya membawa koper berisi pakaian dari Jalan Jawa.

Pada masa ini kehidupan keluarga Natsir sudah dibatasi protokoler. Rumah dijaga polisi dan sang Perdana Menteri selalu didampingi pengawal. -Pemerintah juga menyediakan pembantu yang membenahi rumah, tukang cuci dan masak, serta tukang kebun. "Semua fasilitas tidak membuat kami manja dan besar kepala," ujar Lies.

Putri tertua Natsir yang saat itu duduk di kelas II sekolah me-nengah pertama tersebut tetap naik sepeda ke sekolah karena jarak-nya dekat. Adik-adiknya antar-jemput dengan mobil DeSoto yang dibeli dari uang sendiri. Ibunya masih melanjutkan belanja ke pasar dan kadang masak sendiri. Lies mengatakan keluarganya tidak pernah memanfaatkan fasilitas pemerintah, misalnya perjalanan dinas.

Contoh lain kejujuran Natsir selama menjadi pejabat negara didengar pula oleh Amien Rais, bekas Ketua Umum Muhammadiyah. Ketika masih mahasiswa, ia mendengar cerita Khusni Muis yang pernah menjadi Ketua Muhammadiyah Kalimantan Selatan.

Syahdan, Khusni menuturkan, ia pernah datang ke Jakarta untuk urusan partai (saat itu Muhammadiyah merupakan anggota istimewa Masyumi). Ketika hendak pulang ke Banjarmasin, ia mampir ke rumah Natsir. Tujuannya meminjam uang untuk ongkos pulang. Tapi Natsir menjawab tidak punya uang karena belum gajian. Natsir lalu meminjam uang dari kas majalah Hikmah yang ia pimpin. "Bayangkan, Perdana Menteri tidak memegang uang. Kalau sekarang, tidak masuk akal," ujar Amien.

Tatkala Natsir mundur dari jabatannya sebagai perdana menteri pada Maret 1951, sekretarisnya, Maria Ulfa, menyodorkan catatan sisa dana taktis. Sal-donya lumayan banyak. Maria mengatakan dana itu menjadi hak perdana menteri. Tapi Natsir menggeleng. Dana itu akhirnya dilimpahkan ke koperasi karyawan tanpa sepeser pun mampir ke kantong pemiliknya.

Dia juga pernah meninggalkan mobil dinasnya di Istana Presiden. Setelah itu, ia pulang berboncengan sepeda dengan sopirnya. Keluarganya pindah lagi ke rumah di Jalan Jawa setelah Natsir turun dari jabatan perdana menteri. "Kami kembali ke kehidupan semula," kata Lies.

Pola hidup sederhana itu pula yang membuat anak-anak Natsir mampu bertahan saat suratan takdir mengubah hidup mereka dari kelompok "anak Menteng" menjadi "anak hutan" di Sumatera ketika meletus pemberontakan Pemerintahan Revolusio-ner Republik Indonesia/Perju-angan Rakyat Semesta.

Setelah periode hidup di hutan dan Natsir mendekam dari satu penjara ke penjara yang lain selama 1960-1966, keluarga mereka kehilangan rumah di Jalan Jawa, termasuk mobil DeSoto. Harta itu diambil alih seorang kerabat seorang pejabat pemerintah.

Mereka menjalani "kehidupan nomaden," terus berpindah kontrakan, dari paviliun di Jalan Surabaya sampai rumah petak di Jalan Juana, di belakang Jalan Blora, Jakarta Pusat. Rumah itu cuma terdiri atas satu kamar tidur, ruang tamu kecil, dan ruang makan merangkap dapur.

Setelah Natsir bebas dari Rumah Tahanan Militer Keagung-an Jakarta pada 1966, ia membeli rumah milik kawannya, Bahartah, di Jalan Jawa 46 (sekarang Jalan H. O.S. Cokroaminoto), Jakarta Pusat. Rumah itu sebetulnya dijual dengan "harga teman", tapi Natsir tetap tidak mempu-nyai uang. Alhasil, ia harus mengais pinjaman dari sejumlah kawan dan dicicil selama bertahun-tahun.

Teladan kesederhanaan tetap ia tunjukkan saat memimpin Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia pada masa Orde Baru. Bekas Menteri-Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra, yang ketika itu pernah menjadi anggota staf Natsir, menuturkan betapa bosnya acap ke kantor mengenakan kemeja itu-itu saja. Kalau tidak baju putih yang di bagian kantongnya ada noda bekas tinta, kemeja lain adalah batik berwarna biru.

Saat ulang tahun ke-80, Natsir memberikan wasiat kepada anak-anaknya supaya menjaga rumah keluarga di Jalan Cokro-aminoto 46 dan buku-buku karyanya. Lima tahun kemudian ia menutup mata selamanya. Setahun sepeninggalnya, kelima anaknya, Lies, Asma Faridah, Hasnah Faizah, Aisyahtul Asriah, dan Fauzie Natsir, sepakat menjual rumah peninggalan almarhum: mereka tidak sanggup membayar pajaknya.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/07/14/LK/mbm.20080714.LK127663.id.html

Arsitek Negara Kesatuan

Pada pertengahan 1949,- Indonesia berada di tubir jurang. Republik yang masih bayi tak hanya menghadapi gempuran militer, tapi juga rongrongan di-plomasi Belanda. Salah satu pukulan yang menusuk jantung Republik adalah dibentuknya negara-negara bagian yang terga-bung dalam Bijeenkomst voor Federaal Overleg.

Dalang Bijeenkomst adalah bekas Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hubertus Johannes van Mook. Resminya, pembentukan Bijeenkomst disebut sebagai pelaksanaan Perjanjian Linggarjati 1946. Namun, dengan kelicikannya, Van Mook membiakkan negara bagian yang semestinya cuma terdiri atas Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Borneo, menjadi 16 negara bagian.

Negara Borneo dipecah menjadi lima: Dayak Besar, Borneo Tenggara, Borneo Timur, Borneo Barat, dan Banjar. Republik Indonesia dicabik menjadi sembilan negara bagian: Bengkulu, Beliton, Riau, Sumatera Timur, Ma-dura, Pasundan, Sumatera Selatan, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Dia menyisakan Republik Indonesia menjadi negara bagian kecil yang hanya memiliki wilayah seluas Kesultanan Yogyakarta.

Bahkan di Sumatera telah antre Jambi dan Tapanuli Selatan untuk menjadi negara bagian sendiri. Van Mook memang se-ngaja melakukan politik pecah belah. Tujuan akhirnya jelas: untuk meniadakan Republik Indonesia.

Dalam sebuah tulisan pada 1982, Mr Mohammad Roem menyebut, "Memang sangat menarik untuk membentuk negara bagian, lebih-lebih untuk menjadi kepala negaranya. Orang memperoleh segala fasilitas keuangan dan teknis dari pemerintah Hindia Belanda." Tak mengherankan bila kaum Republik mencemooh Bijeenkomst voor Federaal Overleg sebagai, "Negara boneka bikinan Van Mook."

Pada 27 Desember 1949 lahirlah Republik Indonesia Serikat menggantikan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Soekarno tetap menjadi presiden dan Hatta menjabat wakil presiden merangkap perdana menteri. Belanda melakukan penyerahan kedaulatan disertai pengakuan kepada republik baru.

Siasat Van Mook terbukti tak berjalan mulus. Di Yogyakarta, Mr Asaat dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia-salah satu negara bagian dalam Republik Indonesia Serikat. Tapi, karena rakyat tak dapat melepaskan pikiran dari wibawa dan pengaruh Presiden Soekarno, Asaat mengambil sumpah sebagai "Pemangku Jabatan Presiden Republik Indonesia".

Pada 4 Januari 1950, Asaat mengangkat tiga orang untuk membentuk kabinet, yakni Mr Susanto Tirtoprodjo, Mohammad Natsir, dan Dr Halim. Pokok pertama program kabinet itu berbunyi: "Melanjutkan perjuangan untuk membentuk satu negara kesatuan yang akan meliputi Nusantara sebagai tersebut dalam proklamasi 17 Agustus 1945."

Pada hari yang sama, negara-negara bagian lain mulai bergolak. Kaum republiken dari berbagai pelosok negeri menyampaikan aspirasi kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Malang, misalnya, mencetuskan resolusi untuk lepas dari Negara Jawa Timur dan menggabungkan diri dengan Republik Indonesia.

Pada 30 Januari 1950, giliran Kabupaten Sukabumi mengeluarkan resolusi serupa: lepas dari Negara Pasundan dan bergabung dengan Republik Indonesia. Gejolak yang sama terjadi di Negara Sumatera Timur. Di sini malah terjadi demonstrasi-demonstrasi disertai kekacauan yang membuat polisi harus bertindak.

Menghadapi situasi ini, Natsir segera bermanuver. Sebagai Ketua Fraksi Masyumi di parlemen Republik Indonesia Serikat, ia mengambil inisiatif bertukar pikiran dengan pemimpin-pemimpin fraksi lain. Natsir segera mencapai kesepahaman dengan Kasimo dari Partai Katolik dan A.M. Tambunan dari Partai Kristen Indonesia.

Pembicaraan paling alot terjadi dengan kekuatan politik yang ekstrem: Partai Komunis Indonesia di sisi kiri dan Bijeenkomst voor Federaal Overleg di sebelah kanan. Tapi Natsir mendapat masukan berharga setelah berbincang dengan Insinyur Sakirman dari Partai Komunis Indonesia dan Sahetapy Engel dari Bijeenkomst.

Kebanyakan negara bagian rupanya berat membubarkan diri dan melebur dengan Republik Indonesia yang mereka sebut Republik Yogyakarta. Soalnya, mereka merasa sama-sama berstatus negara bagian menurut Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat.

Setelah berbulan-bulan melakukan pembicaraan dan lobi dengan pemimpin fraksi lain, Natsir mengajukan gagasan kompro-mistis. Dia menyarankan semua -negara bagian bersama-sama mendirikan negara kesatuan melalui prosedur parlementer. Jadi tidak ada satu negara bagian menelan negara bagian lainnya.

Usul itu diterima pemimpin fraksi lain. Maka, pada 3 April 1950, Natsir menyampaikan pidato bersejarah di depan parlemen Republik Indonesia Serikat. Pidato itu ditutup dengan mosi yang intinya: "Dewan Perwakilan Rakyat Sementara Republik Indonesia Serikat dalam rapatnya tanggal 3 April 1950 menimbang sangat perlunya penyelesaian yang integral dan pragmatis terhadap akibat-akibat perkembangan politik yang sangat cepat jalannya pada waktu akhir-akhir ini."

Mosi itu diteken beramai-ramai oleh Subadio Sastrosatomo, Hamid Algadri, Ir Sakirman, K. Werdoyo, Mr A.M. Tambunan, Ngadiman Harjosubroto, Sahetapy Engel, Dr Cokronegoro, Moch. Tauchid, Amelz, dan H Sirajudin Abbas. Mereka mewakili 11 fraksi di parlemen.

Sehari sebelum penyampaian mosi yang kemudian dikenal sebagai Mosi Integral Natsir, masih ada lagi dua resolusi dari daerah. Dewan Perwakilan Kota Praja Jakarta Raya dan Dewan Perwakilan Daerah Sulawesi Selatan menyatakan keinginan bergabung kembali dengan Republik Indonesia.

Isi Mosi Integral Natsir jelas merupakan undangan bagi pemerintah agar mengambil prakarsa mencari penyelesaian atau sekurang-kurangnya membuat rencana mengatasi gejolak.

Pemerintah, diwakili Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri Mohammad Hatta, menyambut mosi dengan tangan terbuka. "Mosi Integral Natsir kami jadikan pedoman menyelesaikan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi," ujarnya.

Hatta kemudian membentuk Panitia Persiapan yang terdiri atas utusan semua negara bagian. Mereka bertugas membuat Rancangan Undang-Undang Dasar Sementara sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selanjutnya pada 19 Mei 1950 diadakan perundingan pemerintah Republik Indonesia Serikat yang mewakili Negara Indonesia Timur dan Sumatera Timur dengan Republik Indonesia. Perundingan itu menghasilkan piagam yang ditandatangani Perdana Menteri Republik Indonesia Serikat Mohammad Hatta dan Perdana Menteri Republik Indonesia Dr Halim.

Inti piagam tersebut adalah kesepakatan kedua belah pihak membentuk sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 dalam waktu sesingkat mungkin.

Pada 15 Agustus 1950, Presiden Soekarno membacakan Piagam Pembentukan Negara Kesatuan dalam sidang bersama parlemen dan senat Republik Indonesia Serikat. Dua hari kemudian, saat perayaan ulang tahun kelima proklamasi kemerdekaan, Presiden Soekarno mengumumkan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Momen bersejarah itu dikenang sebagai Proklamasi Kedua Republik Indonesia. Dan Mohammad Natsir patut dicatat sebagai sang arsitek utama.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/07/14/LK/mbm.20080714.LK127664.id.html

Bung Besar dan Menteri Kesayangan

JAMUAN makan di Istana menjadi agenda penutup sidang kabinet. Rapat yang berlangsung pada pertengahan Desember 1950 ini menjadi lonceng putusnya hubungan mesra antara Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Natsir. Kepada orang-orang dekatnya, Soekarno berujar, "Kedudukan saya sebagai presiden tidak lebih daripada satu stempel karet."

Presiden Soekarno saat itu memang marah besar. Maklum, di depan matanya ada dua belas menteri yang "menolak" rencananya membubarkan Uni Indonesia-Belanda. Hanya tiga menteri yang mendukung gagasannya. Dari hasil voting di kabinet Natsir diputuskan bahwa pembubaran itu harus menunggu sidang gabungan para menteri Indonesia dan Belanda, yang bakal dilaksanakan tahun depan. Di mata kabinet, uni yang dibentuk melalui Konferensi Meja Bundar itu harus diselesaikan dengan melibatkan dua belah pihak.

Sidang di Istana itu diprakarsai Natsir, yang mendapat kabar Presiden akan menyampaikan pidato Maulid Nabi Muhammad. Isi pidato adalah tuntutan agar Irian Barat kembali ke pangkuan Republik sebelum ayam berkokok pada 1 Januari 1951. Juga pembubaran Uni Indonesia-Belanda secara sepihak.

Bagi Natsir, apa yang akan disampaikan Soekarno bersifat politis, dan karena itu membutuhkan dukungan kabinet. Sebab, kata Natsir, "(Keputusan) itu memiliki konsekuensi politik lebih lanjut bagi negara."

Natsir lalu menemui Soekarno. Ia meminta konsep pidato itu dan mendiskusikannya kepada para menteri. Kabinet setuju dengan pembubaran Uni Indonesia-Belanda, namun harus dilakukan dalam satu konferensi para menteri, bukannya melalui pidato presiden secara sepihak. Wakil Presiden Mohammad Hatta juga sependapat. Natsir kemudian menemui Soekarno dan memintanya tak memasukkan pembatalan itu di naskah pidato.

Presiden berang dan merasa dihalang-halangi. Natsir kemudian mengingatkan pertemuan mereka berdua saat dirinya diminta membentuk kabinet pada 6 September 1950. Ketika itu keduanya sepakat bahwa kabinet memiliki hak mengambil keputusan politik yang penting dengan persetujuan parlemen. Untuk menjaga kewibawaan Soekarno, Natsir mengajaknya hadir dalam sidang kabinet yang berlangsung di Istana Presiden.

Satu hari setelah sidang kabinet yang berakhir voting, Istana mengumumkan bahwa Presiden Soekarno membatalkan pidato Maulid Nabi. Sejak inilah kedekatan pribadi dua tokoh yang terjalin sejak 1946 itu berantakan.

Tak lama setelah itu Kabinet Natsir mengalami aneka go-yang-an dari Partai Nasional Indonesia di parlemen. Menurut Hatta, Soekarno mendesak Manai Sophiaan dan teman-temannya menjatuhkan Kabinet Natsir. "Dia memerintahkan Partai Nasional Indonesia mengganggu kabinet saya sehingga tak bisa berbuat apa pun," kata Natsir kepada Yusril Ihza Mahendra, bekas Menteri Sekretaris Negara yang pernah menjadi staf Natsir.

Dua kali anggota Partai Nasional Indonesia di parlemen memboikot sidang sehingga tak memenuhi kuorum. Hari itu juga Natsir mengembalikan mandatnya sebagai perdana menteri. Menyetir mobil dinas-sopir pribadinya dibiarkan naik sepeda-dia menemui Soekarno di Istana. "Saya sudah menduga sejak semula," kata Soekarno dalam pertemuan yang berlangsung sepuluh menit itu. Setelah itu, Natsir berboncengan sepeda dengan sopirnya menuju rumah jabatan di Jalan Proklamasi. Mampir sebentar di rumah dinas itu, segera ia mengajak istri dan anaknya pindah ke rumah pribadi yang sempit di Jalan Jawa, Jakarta -Pusat.

Menurut Hatta, setelah penye-rahan mandat, Natsir menjadi pemimpin yang dibenci Bung Karno. "Padahal sebelumnya dia menjadi menteri kesayangan," kata Hatta dalam tulisannya menyambut 70 tahun Natsir.

Setelah tak menjabat di eksekutif, Natsir mencurahkan waktunya di Partai Masyumi dan parlemen. Dominasi partai ini di pemerintahan merosot jauh. Bahkan pada Kabinet Ali Sastroamidjojo (30 Juli 1953-11 Agustus 1955), tak ada menteri yang berasal dari Masyumi. Haluan politik Ali, yang berasal dari Partai Nasional Indonesia, condong ke kiri dengan merangkul Partai Komunis Indonesia.

Pada 20 Juli 1954, Suara Masyumi menerbitkan tulisan Natsir. Isinya seruan kepada semua patriot untuk membela demokrasi yang sedang terancam. Pria kelahiran Alahan Panjang, Sumatera Barat, ini menuduh kabinet Ali yang dibantu Partai Komunis Indonesia meninggalkan asas-asas yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar. Misalnya dalam penempatan pegawai, pengelolaan perekonomian dan keuangan negara yang kocar-kacir, pembungkaman kelompok oposisi dan wartawan.

Pemilu 1955 menempatkan Masyumi di urutan kedua di bawah Partai Nasional Indonesia, diikuti Nahdlatul Ulama dan Partai Komunis Indonesia. Presiden Soekarno mengusulkan dibentuk Kabinet Kaki Empat. Masyumi menolak bergabung karena berseberangan secara politik dengan Partai Komunis Indonesia.

Natsir mengungkapkan sejumlah dalil hukum Islam yang menyebut komunisme bertenta-ngan dengan Al-Quran dan hadis. "Jadi, apakah mungkin minyak dan air dipersatukan meskipun digodok dan diaduk-aduk," katanya. Dia meminta kader Masyumi waspada terhadap politik "menyodorkan tangan" yang palsu dari komunis. Juga hati-hati terhadap "serigala berbulu kibas yang hendak dimasukkan sekandang dengan ternak."

Natsir juga bereaksi keras terhadap pidato Presiden Soekarno pada hari Sumpah Pemuda 1956. Kepada pimpinan pemuda, Bung Karno mengajak untuk bersama-sama mengubur semua partai politik. Soekarno menyinggung keputusan pemerintah pada Oktober 1945, yang mendorong pembentukan partai. "Itu salah satu kesalahan. Nu wreekt het zich!" ucap Soekarno.

Sebagai Ketua Partai Masyumi, Natsir memberikan pernyataan di harian Abadi. Demokrasi, katanya, menjadi salah satu sila dalam Pancasila. Selama masih ada kebebasan berpartai, selama itu pula ada demokrasi. Apabila partai dikubur, demokrasi ikut masuk ke liang lahat. "Yang tinggal berdiri di atas kubur adalah diktator," ucapnya.

Bung Hatta juga gerah dengan suasana politik saat itu. Pada akhir 1956, dia mengundurkan diri sebagai wakil presiden dan secara simbolis meniadakan "perwakilan" luar Jawa dalam kepemimpinan nasional. Namun Natsir masih belum percaya bahwa Bung Karno memiliki niat menjadi penguasa lalim. Ternyata perkiraan itu meleset. Tiga tahun kemudian, Soekarno benar-benar menjadi diktator.

Ini dimulai pada 5 Juli 1959, ketika Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang membubarkan Konstituante dan kembali ke UUD 1945. Dia mengajukan dua alasan dari penerapan demokrasi terpimpin. Pertama, demokrasi liberal bertentangan dengan kepribadian nasional. Kedua, kembali mengulangi tema lama-nya ialah revolusi belum selesai. Tak ayal, Dekrit Presiden yang menjadi tonggak demokrasi terpimpin semakin mengukuhkan kuatnya kedudukan politik Soe-karno, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, dan Partai Komunis Indonesia.

Natsir menjelaskan demokrasi terpimpin seharusnya dibimbing nilai-nilai moral dan nilai-nilai hidup yang tinggi. "Bukan dalam arti seluruh sistem demokrasi dikendalikan seseorang atau beberapa orang yang serba kuasa yang tidak kenal kendali." Kritik Natsir ini seperti seruan di padang pasir.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/07/14/LK/mbm.20080714.LK127665.id.html

Kalau Aku Mati Ikut Natsir

DI lereng Gunung Rakutak, Cicalengka, Kabupaten Bandung, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo meng-akhiri perlawanannya. Ketika gelap mulai merayapi punggung Rakutak, 3 Juni 1962, bersama seorang anak buahnya, Dodo Muhammad Darda, sang imam Negara Islam Indonesia, "angkat tangan". Ia menyerah kepada pa-sukan Batalion 328 Kujang yang dipimpin Letnan Dua Suhanda.

Tiada perlawanan. Ketika ditangkap, pria 57 tahun itu tergolek lemah di dalam gubuk akibat luka di kakinya yang makin parah. Ki Dongkol, keris pusakanya, masih terselip di pinggang. Pasukan Suhanda terpaksa memakai tandu membawa Kartosoewirjo turun gunung.

Setelah tiga belas tahun berge-rilya melawan pemerintah, Kartosoewirjo dan pasukannya memang makin terpojok. Cadangan logistik yang terus menipis membuat mereka terpaksa makan daun-daunan. Mental pasukan makin jatuh ketika, dalam pertempuran di Desa Cipaku, Ciparay, sekitar lima kilometer dari Cicalengka, sebulan sebelum penangkapan itu, kaki sang imam kena tembak.

Sejak itu, satu per satu pendukung utama Tentara Islam Indonesia, demikian nama pasu-kan- Kartosoewirjo, meletakkan senjata atawa tertangkap. Pada akhir Mei 1962, misalnya, Adah Djaelani Tirtapradja, salah satu Panglima Tentara Islam, menye-rahkan diri. Langkah Adah itu menyusul jejak Toha Machfoed dan Danoe Moehammad Hasan. Dengan menyerahnya tiga pimpinan pasukan itu, tinggal Agus Abdullah pendukung Kartosoewirjo yang masih bertahan. Pasukan Agus terus bergerilya di sekitar Gunung Ciremai, Ku--ning-an, Jawa Barat.

Selepas fajar, pada 5 September 1962, sang imam diangkut kapal Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut dari pangkalan Tanjung Priok menuju salah satu pulau tak berpenghuni di Kepulauan Seribu. Di sana sudah menanti satu regu tembak. Sebelumnya, Mahkamah Militer sudah menjatuhkan vonis hukuman mati untuk Kartosoewirjo. Pagi itu, ujar Sardjono Kartosoewirjo, putra bungsu sang imam, kepada Tempo, ayahnya dieksekusi. Bersama perginya sang imam, berakhirlah pula Darul Islam.

l l l

BIBIT perlawanan Kartosoewirjo bersemai ketika perjanjian dengan Belanda di atas kapal perang USS Renville milik Amerika Serikat yang sedang berlabuh di Teluk Jakarta ditandatangani Perdana Menteri Amir Syarifuddin pada 17 Januari 1948. Salah satu butir kesepakatan Renville, penetapan garis Van Mook sebagai batas wilayah Indonesia dengan Belanda. Konsekuensinya, semua tentara Indonesia harus keluar dari wilayah Jawa Barat yang dikuasai Belanda.

Kartosoewirjo termasuk yang kecewa akan Perjanjian Renville. Ia merasa ditinggalkan pemerintah. Bersama pasukan Sabilillah dan Hizbullah, Kartosoewirjo menolak mengikuti jejak Divisi Siliwangi mundur ke Jawa Tengah. Dia bertekad tetap bertahan di Jawa Barat serta terus melawan Belanda.

Sebagai persiapan, pada 10 Februari 1948 Kartosoewirjo mengumpulkan ratusan pemimpin Islam se-Jawa Barat di Desa Pang-wedusan, Cisayong, Tasikmalaya. Selain menuntut pembatalan Perjanjian Renville dan membekukan Partai Masyumi, pertemuan itu menyepakati membentuk Tentara Islam Indonesia untuk mengisi posisi yang ditinggalkan Tentara Nasional Indonesia.

Melihat kondisi ini, -Perdana Menteri Mohammad -Hatta menunjuk Muhammad Natsir sebagai penghubung pemerintah-yang saat itu berdomisili di Yogyakarta-dengan Kartosoewirjo. Hatta menganggap Natsir cukup mengenal Kartosoewirjo. Selain sama-sama orang Masyumi, Natsir dan Kartosoewirjo memang beberapa kali pernah berjumpa di rumah salah satu guru Natsir, A. Hassan, tokoh Persatuan Islam, di Bandung.

Natsir, dalam wawancara dengan Tempo pada Desember 1989, menggambarkan hubungan Kartosoewirjo dengan pemerintah saat itu masih lumayan mesra. Berulang kali Kartosoewirjo datang ke Yogyakarta minta bantuan makanan atau dana bagi pasukannya. "Bung Hatta memberikan bantuan supaya Kartosoewirjo bisa mendinginkan hati orang-orang Jawa Barat yang merasa ditinggalkan Republik," kata Natsir.

Baku tembak antara pasukan Tentara Islam dan Tentara Nasional Indonesia pertama kali terjadi pada 25 Januari 1949 di Kampung Antralina, Ciawi, Tasikmalaya. Paling tidak ada dua versi cerita mengenai penyebab "pertempuran Antralina" itu. Masing-masing pihak mengklaim mereka diserang lawan. Sejak itu, bara permusuhan Tentara Islam dan Tentara Nasional Indonesia terus menyala.

Bagi kelompok Kartosoewirjo, kekosongan kekuasaan di Jawa Barat juga berarti peluang mendirikan Negara Islam. Lewat beberapa kurir, niat mendirikan negara Islam itu disampaikan Kartosoewirjo ke beberapa pengurus besar Masyumi di Yogyakarta, antara lain Anwar Tjokroaminoto, A.M. Soebakin, dan Abikoesno Tjokrosoejoso. Dalam surat itu, Kartosoewirjo juga mengundang tokoh-tokoh Masyumi datang ke Jawa Barat untuk membahas bentoek dan langkah perdjoeangan oemmat pada dewasa ini.

Puncaknya, pada 7 Agustus 1949, di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Kartosoewirjo mendeklarasikan Negara Islam Indonesia. Tanggal itu dipilih bertepatan dengan keberangkatan Hatta ke Den Haag, Belanda, untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar. "Proklamasi. Kami, Oemmat Islam Bangsa Indonesia. MENJATAKAN: Berdirinja "NEGARA ISLAM INDONESIA". Maka hoekoem jang berlakoe atas Negara Islam Indonesia itoe, ialah: HOEKOEM ISLAM. Imam NEGARA ISLAM INDONESIA S.M. Kartosoewirjo."

l l l

BERBAGAI upaya dilakukan pemerintah untuk menghentikan niat Kartosoewirjo memisahkan diri dan mendeklarasikan Negara Islam Indonesia, atau Darul Islam. Sebelum berangkat, Hatta sudah berpesan kepada Natsir agar berbicara dengan Kartosoewirjo untuk menutup segala sengketa.

Ketika itu, 4 Agustus, Natsir menginap di Hotel Homann, Bandung. Dia menulis pesan di selembar kertas hotel, dan kemudian meminta tolong A. Hassan menyampaikannya ke Kartosoewirjo. Namun, apa daya, surat itu sampai ke tangan Kartosoewirjo tiga hari setelah proklamasi Darul Islam. "Yah, terlambat. Itu namanya takdir Tuhan," kata Natsir, 19 tahun lalu.

Menurut Natsir, Kartosoewirjo memang dijaga ketat para peng-awalnya. Tak sembarang orang bisa bertemu. A. Hassan pun sempat diminta menunggu hingga beberapa hari. Namun, kalaupun tiba tepat waktu, kata Natsir, itu pun tak mudah menggeser sikap Kartosoewirjo. "Bagi dia, yang berat itu menjilat ludah sendiri," kata Natsir.

Bendera Darul Islam memang sudah telanjur dikibarkan di Jawa Barat, dan pasukan Kartosoewirjo terus bergerilya. Kendati demikian, hubungan Natsir dengan Kartosoewirjo tetap ter-sambung. Selama bergerilya, paling tidak dua kali Kartosoewirjo mengirim surat rahasia kepada Presiden Soekarno, yang ditembuskan kepada Natsir.

Surat pertama dikirim pada 22 Oktober 1950, berisi pujian sang imam atas keputusan pemerintah menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Menurut dia, kebijakan itu menunjukkan sikap pemerintah telah bergeser dari politik netral menjadi politik antikomunis. Di surat berikutnya, enam bulan kemudian, Kartosoewirjo menjanjikan dukungan untuk pemerintah melawan komunisme. "Republik Indonesia akan mempunyai sahabat sehi-dup semati," katanya. Namun, ia memberikan syarat: pemerintah harus mengakui Darul Islam.

Usaha Natsir melunakkan hati sang imam dan pengikutnya tak pernah berhenti. Pada Juni 1950, dia mengutus Wali Alfatah, teman lama Kartosoewirjo, menemui sang imam. Namun Kartosoewirjo menolak bertemu. Sang imam menyatakan, dia hanya bersedia menerima pejabat tinggi Indonesia, bukan utusannya.

Pada akhirnya, memang bukan Natsir yang berhasil menaklukkan sang imam, melainkan peluru yang menembus dadanya. Walau demikian, menurut penuturan salah seorang bekas anak buah Kartosoewirjo, seperti dikatakan Sardjono Kartosoewirjo, ayahnya tetap menaruh hormat kepada Natsir. Bahkan Kartosoewirjo berwasiat kepada pengikutnya: "Kalau aku nanti mati, kalian ikuti Pak Natsir."

Sumber:
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/07/14/LK/mbm.20080714.LK127666.id.html


PRRI: Membangun Indonesia Tanpa Komunis

R.Z. Leirissa
Sejarawan

Pada 15 Februari 1958, sejumlah tokoh militer dan sipil di Padang memproklamasikan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Peristiwa itu merupakan puncak gunung es dari kemelut yang dihadapi bangsa Indonesia pasca-Revolusi. Yang tidak kurang penting adalah telantarnya pembangunan ekonomi, yang membawa kemelaratan banyak orang. Pemerintah pusat di Jakarta meremehkan kejadian di Padang itu sebagai suatu "gerakan separatisme". Tapi pihak daerah yang bergolak melihat tindakan mereka sebagai upaya mencegah jatuhnya Republik Indonesia ke tangan komunisme.

Sejak pertengahan 1950-an, konflik mulai meningkat di kalangan partai-partai politik yang anti dan pro-komunis. Dalam Pemilu 1955, Partai Komunis Indonesia (PKI) merebut tempat keempat, setelah Partai Nasional Indonesia, Masyumi, dan Nahdlatul Ulama. Sejak itu, kesadaran akan bahaya komunisme di Indonesia terus meluas. Kekhawatiran itu makin bertambah ketika dalam pemilihan daerah di Jawa pada Juni-Agustus 1957 PKI mengungguli semua partai lain dengan kedudukan nomor satu.

Partai-partai antikomunis, seperti Masyumi dan PSI, mempertaruhkan semua kekuatan untuk menghambat PKI. Tapi kecenderungan Presiden Soekarno memihak PKI menjadikan mereka tak berdaya. Dalam konflik intern, Perang Dingin juga menjadi faktor penting. PSI dan Masyumi dianggap oleh Soekarno sebagai "antek" Barat, tapi bagi kedua partai itu keberpihakan pada Barat adalah strategi untuk menghambat berkuasanya PKI di Indonesia. Ketidakberdayaan itu makin dirasakan ketika Mohammad Hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden pada awal Desember 1957. Intimidasi dan provokasi yang dilontarkan media PKI terhadap tokoh-tokoh Masyumi menyebabkan akhirnya, pada Desember 1957, ketua partai itu, Mohammad Natsir, terpaksa menyingkir ke Padang. Dr Sumitro Djojohadikusumo, yang mengalami intimidasi seperti itu, juga terpaksa meninggalkan Jakarta.

Sementara suhu politik di Jakarta terus meningkat, pada saat yang bersamaan di berbagai daerah muncul kritik yang tajam terhadap pemerintah. Masalah utama adalah kemiskinan dan tidak adanya pembangunan ekonomi. Keadaan itu dimanfaatkan oleh para panglima daerah di Sumatera dan Sulawesi untuk mendapat dukungan rakyat atas permasalahan mereka sendiri. Sejak Nasution diangkat kembali oleh Presiden Soekarno sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, muncul rasa ketidakpercayaan kepada Kepala Staf Angkatan Darat, yang pernah dinonaktifkan oleh Soekarno sendiri berkaitan dengan "Peristiwa 17 Oktober 1952" (penolakan militer atas campur tangan sipil dalam "urusan intern militer").

Kekhawatiran muncul ketika itu karena kerja sama Nasution dengan Soekarno diduga bisa memperkuat posisi PKI. Karena itu, ketika Nasution memutuskan untuk melakukan tour of duty (pemindahan tempat kedudukan para panglima), para panglima daerah di luar Jawa membangkang. Pembangkangan itu dimulai di Sumatera Tengah, ketika pada 25 November 1956 Panglima Divisi Banteng Letnan Kolonel Ahmad Husein membentuk Dewan Banteng dan mengambil alih kekuasaan atas provinsi itu. Kemudian Panglima Divisi Bukit Barisan Kolonel Simbolon membentuk Dewan Gajah pada 22 Desember 1957. Dua hari kemudian, di Palembang, Panglima Divisi Gajah membentuk Dewan Gajah. Di Indonesia Timur, pada 2 Maret 1957, Panglima Divisi Wirabuana Letnan Kolonel Sumual membentuk Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) di Makassar dan mengambil alih kekuasaan atas provinsi itu. Para panglima itu berhasil membuka hubungan dagang dengan Singapura sehingga menghasilkan uang yang banyak untuk digunakan bagi pembangunan daerah. Bahkan dalam beberapa bulan saja Indonesia Timur menjadi sangat makmur.

Akhir Maret 1957, sepuluh perwira staf Markas Besar Angkatan Darat mengambil inisiatif untuk mencari jalan keluar dari kemelut yang sudah meluas menjadi konflik daerah itu. Maksud mereka dibicarakan dengan Perdana Menteri Djuanda, yang ternyata sangat mendukung upaya rekonsiliasi itu. Para perwira Markas Besar Angkatan Darat itu dikirim ke daerah-daerah yang bergolak untuk kemungkinan menyelenggarakan suatu pertemuan nasional di Jakarta. Letkol Sumual, yang menyadari bahwa inisia-tif itu adalah satu-satunya cara penyelesaian, lalu datang ke Jakarta dan menghubungi Djuanda. Dengan Djuanda dia sepakat langkah pertama ke arah musyawarah nasional itu adalah pertemuan antara para tokoh militer dan sipil di daerah bergolak untuk meyakinkan mereka bahwa musyawarah nasional merupakan jalan terbaik.

Pertemuan di Palembang yang direncanakan itu berlang-sung pada 8 September, dua hari sebelum musyawarah nasional dibuka. Kehadiran Mohammad Natsir jelas mempengaruhi keberhasilan pertemuan itu. Bahaya komunisme yang mengancam Indonesia mendapat tekanan khusus dari tokoh politik kawakan ini. Di bawah pengaruhnya, semua eksponen daerah bergolak itu menyatakan solidaritas dan membentuk satu dewan saja dengan nama Dewan Perjuangan. Keputusan yang diambil di Palembang- yang dicantumkan dalam "Piagam Palembang" pada da-sar-nya merupakan usul bersama dari daerah bergolak, yang terdiri atas lima hal: (1) pemulihan dwitunggal Soe-kar-no-Hatta, (2) penggantian pimpinan Angkatan Darat, (3) pembentukan senat di samping Dewan Perwakilan Rakyat untuk mewakili daerah-daerah, (4) melaksanakan otonomi daerah, dan (5) melarang komunisme di Indonesia.

Musyawarah nasional berlangsung di Jakarta pada 10-15 September 1957. Seluruh usul Dewan Perjuangan ternyata diterima, kecuali pembubaran PKI. Bahkan dibentuk suatu panitia yang terdiri atas tujuh orang untuk merehabilitasi para perwira daerah yang oleh Nasution dianggap sebagai pembangkang. Keputusan Panitia Tujuh direncanakan akan diumumkan pada 13 Desember dan para "perwira pembangkang" akan direhabilitasi serta dikembalikan ke kedudukan semula.

Dari kelima usul Dewan Perjuangan itu, dalam perjalanan sejarah, tiga akhirnya terwujud. Pembubaran PKI dilakukan oleh Orde Baru, sementara otonomi daerah dan pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (semacam senat) di samping Dewan Perwakilan Rakyat dilaksanakan pada masa reformasi.

Namun, sebelum Panitia Tujuh mengumumkan hasilnya, pada 30 November, terjadi upaya pembunuhan Presiden Soekarno ketika ia hendak meninggalkan upacara wisuda putranya di Perguruan Cikini. Tanpa melakukan penelitian yang menyeluruh, pemimpin Angkatan Darat menuduh para perwira daerah sebagai pelaku atau dalangnya. Terutama Kolonel Zulkifli Lubis, perwira intelijen yang disegani, yang menjadi bulan-bulanan.

Sekalipun tokoh-tokoh daerah bergolak yakin tidak bersalah, hukuman telah dijatuhkan dan mereka terpaksa menyingkir lagi ke Sumatera untuk menghindari penangkapan.

Pusat pun mengibarkan bendera perang terhadap daerah-daerah bergolak. Para eksponen pergolakan itu berkumpul lagi di Sungai Dareh, Sumatera Barat, buat membicarakan apa yang harus dilakukan untuk menghadapi permusuhan dari pusat itu. Tokoh politik seperti Mohammad Natsir dan Sumitro Djojohadikusumo ikut aktif dalam pertemuan itu. Bahkan Natsir menganjurkan agar dilakukan perlawanan untuk membela diri. Nada pertemuan itu sesuai dengan ungkapan civis pacem parabellum ("untuk berdamai harus siap berperang"). Para perwira lain dikirim ke Singapura untuk membeli senjata. Peran Sumitro Djojohadikusumo sangat penting dalam hal ini.

Dewan Perjuangan kemudian berapat lagi di Padang dan memutuskan untuk menuntut Presiden Soekarno membubarkan kabinet Djuanda dan membentuk kabinet Hatta-Hamengku Buwono. Jakarta dengan sendirinya menolak. Maka, pada 15 Februari 1958, di Padang dibentuk kabinet tandingan dengan nama Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia. Perang pun tidak dapat dihindari.

Harus diakui, peran pemerintah Amerika Serikat dalam kemelut ini juga penting. Melalui kerja sama Dinas Intelijen Amerika (CIA) dan Departemen Luar Negeri (kakak-adik Dulles), disusunlah sebuah rencana besar untuk membantu pergolakan daerah itu. Namun keinginan Amerika Serikat agar di Padang dibentuk "Negara Sumatera" ternyata tidak dituruti. Para eksponen pergolakan yang turut mendirikan Republik Indonesia tampaknya tidak sampai hati menghancurkan apa yang mereka bangun itu. PRRI ternyata adalah pemerintah nasional yang menca-kup seluruh Indonesia juga (dengan sistem federal).

Dari rencana besar CIA-Departemen Luar Negeri Amerika Serikat itu, tinggal peran Howard P. Jones yang ikut serta merancang rencana bantuan Amerika tersebut. Ia kemudian dikirim ke Jakarta sebagai duta besar untuk memantau keadaan-berbeda dengan laporan-laporan CIA yang cenderung membesar-besarkan bahaya komunis.

Jones melaporkan bahwa di kalangan pemimpin Angkatan Darat terdapat kekuatan nyata yang antikomunis. Setelah Menteri Luar Negeri John Foster Dulles sakit kanker, pada 1961 Amerika Serikat mengubah strateginya untuk mendukung kekuatan antikomunis di kalangan tentara dan melepaskan dukungannya terhadap pergolakan daerah. Sejak 17 Agustus 1961, Presiden Soekarno mengeluarkan amnesti bagi semua tokoh yang terlibat peristiwa PRRI.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/07/14/LK/mbm.20080714.LK127667.id.html


Dalam Masa Pengasingan

MENJELANG -subuh, sekitar pukul 04.30 WIB. Rombongan keluarga Mohammad -Natsir dan Bur-hanudin Harahap tiba di Desa Muara Pauh, Sungai Batang Maninjau. Ini tempat persing-gahan ketujuh selama pengungsian di Sumatera Barat, setelah rehat di Lubuk Linggau, Su-ngai Dareh, Sawah Lunto, Padang Baru, Batu Sangkar, dan Koto Tuo, Bukittinggi.

Sejak memutuskan terlibat dalam gerakan Pemerintahan Re-volusioner Republik Indonesia alias PRRI, Natsir dan Burhanudin hijrah ke Sumatera Barat. Istri dan anak-anak diboyong serta. Begitu pula rekan seperjuang-an mereka, Sjafroeddin Prawiranegara, beserta keluarga.

Semua berawal pada suatu siang di bulan Januari 1958. Seorang kurir membawa surat yang ditulis Natsir untuk keluarganya di Jalan Jawa 28 (sekarang Jalan H O.S. Cokroaminoto), Menteng, Jakarta Pusat. Isinya, meminta Nurnahar (istri Natsir yang biasa dipanggil Ummi) dan anak-anak mereka berangkat ke Padang. "Situasi sudah gawat," begitu alasan yang didengar Sitti Muchliesah alias Lies, putri sulung Natsir-yang menuturkannya kepada Tempo dua pekan lalu.

Waktu itu, situasi Jakarta tidak menentu. Pemerintah Bung Karno memaksakan paham na-sionalisme, agama, komunisme alias Nasakom kepada rakyat. Pamflet disebar ke rumah-rumah. Di daerah, banyak komandan tentara dan pemimpin sipil kecewa karena pembagian kekayaan hasil bumi yang tim-pang dengan Jakarta.

Situasi tambah runyam lantaran Peristiwa Cikini pada 1957. Letupan granat tiba-tiba menggegerkan perayaan ulang tahun Perguruan Cikini-tempat anak-anak Bung Karno bersekolah. Presiden selamat, tapi kelompok komunis langsung menuduh pihak Masyumi bertanggung jawab atas Peristiwa Cikini.

Setelah menerima surat Natsir, Ummi dan anak-anak bersiap ke Padang. Kala itu, Lies sedang kuliah tingkat II Jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia. Adik-adiknya, Asma Faridah dan Hasnah Faizah, masih di sekolah menengah atas. Lalu Aisyahtul Asriah dan si bungsu, Ahmad Fauzie, duduk di bangku sekolah menengah pertama.

Sebelum berangkat, Lies sempat membeli koper ke Pasar Baru, Jakarta. Di sana, ia bertemu dengan kawannya yang menanyakan tujuannya bepergian. "Naar Holland (Ke Belanda)," Lies menjawab sambil berseloroh. Kebetulan, saat itu sedang terjadi aksi nasionalisasi perusahaan Belanda. Banyak warga Belanda diusir pulang ke negeri mereka.

Keberangkatan ke Padang dilakukan dengan pesawat komersial via Palembang, karena hubungan udara Jakarta-Padang sudah terputus. Tiba di ibu kota Provinsi Sumatera Selatan, keluarga Natsir dijemput dan di-tampung keluarga pengikut Masyumi selama dua pekan. Di sini, mereka dijamu aneka makanan khas Palembang: tekwan, pempek, dan sejenisnya. "Rasanya seperti liburan saja," kata Lies.

Perjalanan dilanjutkan ke Lubuk Linggau, masih di Sumatera Selatan, dengan kereta api. Hari sudah gelap ketika rombongan dari Jakarta itu tiba. Keesokan harinya, mereka menumpang bus ke Sungai Dareh, lalu ke Sawah Lunto. Di sini, Aba-panggilan keluarga untuk Natsir-sudah menjemput dengan sedan dan jip. Mereka meluncur ke Padang Baru. Rumah adik Natsir, Etek Tjoen, sudah disiapkan.

Di kota ini anak-anak Natsir bersekolah kembali, kecuali Lies lantaran belum ada jurus-an sastra Inggris di Universitas Andalas. Suatu pagi, terdengar suara bom menggelegar. Ummi dan Lies melompat, menyusup ke kolong tempat tidur. Rupanya, studio Radio Republik Indonesia yang berjarak 100 meter dari rumah mereka dibom.

Malam itu juga, mereka angkat koper ke Batu Sangkar, Kabupaten Tanah Datar. Dua malam di sana, mereka kemudian bergeser ke daerah pedalaman yang dianggap lebih aman. Dari sana, rombongan berpindah lagi ke Koto Tuo, Bukittinggi. Di sini, keluarga Burhanudin dan Sjafroeddin bergabung.

Untuk menghindari serbuan Jakarta, pusat PRRI dipindahkan dari Kota Padang ke peda-laman. Agar Bukittinggi aman, sebuah jalan di Singgalang diputus. Pertempuran secara gerilya berlanjut. Keluarga Natsir dan Burhanudin pindah ke Maninjau, sedangkan keluarga Sjafroeddin ke Koto Tinggi. Di Maninjau, mereka ditampung oleh aktivis Masyumi, Buya H. Jusuf (paman Buya Hamka), di Desa Muara Pauh, di tepian Danau Maninjau.

Di sini, anak-anak Natsir, yang biasa tinggal di daerah Menteng, resah lantaran tak ada kamar mandi dan jamban. Lies dan adik-adik perempuannya yang beranjak dewasa mesti memakai sarung seperti kemben bila mandi. "Rasanya mau menangis," ujarnya mengenang.

Pagi harinya barulah sebuah rumah kosong disiapkan. Jamal, warga yang membantu keluarga Natsir, membersihkan rumah itu. Sumur yang lama tak dipakai dibersihkan, didesain menjadi kamar mandi. Jamal juga membuat WC berdinding nonpermanen di tepi danau.

Posisi Natsir sebagai juru bicara pergerakan membuatnya ha-rus berada di markas PRRI di Koto Tinggi. Meninggalkan Ummi dan anak-anak di Maninjau, komunikasi mereka tersambung melalui kurir. Di kota ini, adik-adik Lies kembali bersekolah. Setiap bakda magrib, mereka belajar mengaji kepada Buya Jusuf. Lies belajar merenda kepada Um-mi serta membikin abon dan rem-peyek kepada Ibu Burhanudin.

Sekitar setahun di Maninjau, tempat persembunyian keluarga tokoh PRRI ini tercium tentara Jakarta. Mereka menembaki kampung-kampung di tepi da-nau dari arah utara. Tak lama, mereka sudah menduduki kota kecamatan tersebut. Namun para gerilyawan sudah -meninggalkan wilayah itu ke arah daerah hi-lir Maninjau, Koto Kaciak. Wilayah ini lebih aman karena berada di balik bukit Desa Tantaman, Palembayan. Empat bulan kemudian mereka pindah ke Sitalang, di daerah Lubuk Basung. Di tempat ini, Natsir kembali bergabung dengan keluarga.

Selanjutnya rombongan masuk ke hutan Pasaman. Pengungsian dilakukan berjalan kaki, mendaki dan menuruni bukit. Mereka hanya membawa bekal pakaian secukupnya. Koper dititipkan di rumah warga di tepi hutan. Lies yang tak memiliki celana panjang kerepotan. Dari Jakarta ia hanya membawa rok lebar atau rok berlapis-lapis. "Saya merombak rok-rok itu menjadi celana panjang," ujarnya.

Untuk menuju rimba Pasaman,- mereka harus menyeberangi- Ba-tang Masang, sungai lebar yang deras. Seorang pegawai Telkom yang ada dalam rombongan menemukan ide membuat jembatan dari kabel telepon. Kabel direntangkan, diikat di batang pohon hingga ke seberang. Sebuah katrol dipasang untuk menggerakkan keranjang rotan berkapasitas dua orang.

Petualangan menyeberangi su-ngai menggunakan pelayang-an alias rakit penyeberangan dan merambah belantara Pasaman ini melekat di ingatan Fau-zie. Beruntung, mereka tak pernah bertemu dengan binatang buas. "Kami lebih takut bila bertemu dengan tentara," kata Fau-zie. Sebab, banyak cerita ber-edar, TNI akan langsung menembak bila bertemu dengan orang-orang PRRI.

Di dalam hutan, anak buah Natsir membuat dua pondok. Satu untuk staf, sekaligus kantor PRRI. Satu lagi untuk tempat tidur, makan, dan dapur kecil keluarga. Di kantor Natsir, ada radio baterai yang cukup kuat menangkap siaran radio BBC dan VOA. "Pemilihan Presiden Kennedy pun dapat diikuti," kata Lies.

Tidak terasa sudah tiga setengah tahun keluarga Natsir meninggalkan Jakarta. Agustus 1961, melalui siaran radio, Jakarta meminta para tokoh PRRI menyerah. Para pemimpin, baik sipil maupun militer, akan diberi amnesti dan abolisi. Seorang anggota staf Natsir ngotot tetap bertahan di hutan. "Aba mengatakan tinggal kami sendirian karena militer saja sudah keluar dari hutan," ujar Hasnah-salah satu putri Natsir. Rombongan Natsir memang kelompok PRRI terakhir yang menyerah di Sumatera.

Sumber:
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/07/14/LK/mbm.20080714.LK127668.id.html


Seorang Besar dengan Banyak Teman

Pada 1978, saat Mohammad Natsir berumur 70 tahun, Mohammad Roem mengkhawatirkan kesehatan karibnya itu. "Andainya ia mau mengurangi tamunya, tentu kesehatannya akan lebih baik," tulis Roem, kawan seperjuangan Natsir, dalam buku Mohammad Natsir, 70 Tahun, Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan (Pustaka Antara, 1970). Jika Natsir sakit-kata Roem mengutip keterangan Nurnahar, istri Natsir-pasti karena terlalu banyak menerima tamu. Meski kerap berbaring dan tak kuat bangun karena kehabisan tenaga melayani tamu, Natsir tak pernah menolak orang yang datang.

Natsir, kata Roem, punya satu sifat langka yang dirindu orang. Jika ada orang bercerita-entah berupa pendapat entah kisah sedih-Natsir bisa mendengarkannya dengan penuh perhatian. Seolah ia ikut merasakannya. Orang kerap merasa lega bercerita kepadanya, meski soal yang diceritakan itu tak ada jalan keluarnya. Begitu pula jika Natsir bercerita atau berpendapat, ia akan mengisahkannya dengan segala perasaan dan emosi yang ada. "Kawan-kawan menjadi meyakini apa yang Natsir ceritakan. Mereka bersedia membantu Natsir dan mengikutinya," tulis Roem dalam tulisan "Kelemahan atau Kebesaran Natsir".

Sikap penuh pengertian dan mau mendengar pendapat orang berasal dari endapan pengalaman hidup Natsir. Pria asal Alahan Panjang, Sumatera Barat, tersebut menempuh jalan yang sukar dalam hidupnya sebagai anak peng-hulu kecil. Barangkali juga dilatari wataknya sebagai guru. Selain itu, seperti kerap diceritakan Natsir kepada kawan-kawannya, semua itu adalah buah perjumpaan yang mengesankan dengan guru-guru batinnya.

Natsir bercerita pernah dibikin terharu oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto, tokoh Sarekat -Islam. Natsir bertemu dengan pria gagah berkumis lebat itu di Stasiun Bandung ketika Tjokro- me-ngunjungi cabang-cabang Sa-rekat Islam. Satu hal yang mencuri perhatian Natsir adalah veldbed (tempat tidur yang bisa dilipat) yang ditenteng pria berjuluk "Raja Jawa tanpa Mahko-ta" itu. Selepas berkenalan, Natsir memberanikan diri bertanya- mengapa Tjokroaminoto selalu- membawa veldbed. "Saya tidak- mau jadi beban orang yang saya datangi. Saya bisa nginap di mana pun dengan ini. Di masjid atau di mana pun," kata Tjokro, seperti ditirukan Natsir.

Kisah lainnya adalah perka-wanannya dengan A. Hassan, seorang ustad yang dikenalnya semasa bersekolah dan mengambil diploma guru di Bandung. Ustad asal Singapura itu berdagang buku-buku Islam dan membuka percetakan. Setiap kali mengun-jungi A. Hassan, Natsir selalu menjumpai pria itu sedang bekerja. Entah sedang menyusun huruf di percetakan, mengoreksi, entah tengah menulis tafsir. Tapi sang ustad selalu menghentikan pekerjaannya setiap kali Natsir datang.

"Teruskan kerja Tuan dulu. Jangan terganggu oleh saya. Tidak ada yang penting-penting," kata Natsir berdalih tak enak mengganggu kerja A. Hassan. Tapi A. Hassan selalu "melayani" Natsir, seolah percakapannya dengan pemuda tanggung itu lebih penting ketimbang bekerja. Natsir pun mengakui percakapan dan tukar pikiran yang dilakukannya dengan A. Hassan sangat mempengaruhi jiwa dan arah hidupnya kelak.

Cara Natsir memandang kekuasaan pun sangat bersahaja. Pegawai Kota Praja Bandung ini (saat penjajahan Jepang) mengaku "dijerumuskan" Kahar Muzakkar, seorang kawan dekatnya, ke pentas pergolakan nasional.

Ceritanya amat sepele. Menjelang proklamasi, Natsir datang dan menginap di rumah Kahar Muzakkar di Jalan Teuku Umar, Jakarta. Sang kawan kemudian mengajaknya jalan-jalan ke Pasar Baru selepas makan malam. "Ikut saja, kita pergi bersama," kata Kahar santai. Kahar baru saja ditunjuk menjadi anggota Komite Nasional Indonesia (KNI) oleh Bung Karno dan Bung Hatta serta malam itu ada rapat badan cikal bakal parlemen itu di Gedung Komidi (sekarang Gedung Kesenian Jakarta), Pasar Baru. Natsir yang bukan anggota KNI sebenarnya memilih menunggu di luar saja, tapi Kahar mendorongnya dari belakang. "Ini Saudara Mohammad Natsir," ujar Kahar kepada penjaga.

Penjaga pintu gedung yang mencatat nama-nama orang yang hadir ternyata salah dengar. Ia menulis nama Mohammad Natsir dalam daftar anggota KNI. Maka jadilah Natsir anggota KNI, yang diterimanya tanpa keberatan. Kelak, sehari setelah proklamasi, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia menunjuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai badan pembantu presiden dan wakil presiden. Natsir sendiri kemudian ditunjuk menjadi satu dari tiga anggota-bersama Dr Sarwono dan Sudarsono-menjadi Badan Pekerja KNIP pada 30 Oktober 1945. Pada permulaan 1946, mantan Ketua Jong Islamieten Bond cabang Bandung ini pun diangkat menjadi Menteri Penerangan pada Kabinet Sjahrir.

Dengan segala tempaan di ma-sa lalunya itulah Natsir berhasil menjadi ketua terlama Partai- Masyumi (1949-1958). Partai Islam ini juga berhasil diantar--kan-nya memenangi posisi kedua dalam pemilihan umum 1955. Sebagai orang yang tak pernah mengenyam bangku perguruan- tinggi, prestasi Natsir sungguh luar biasa. Apalagi, seperti diungkapkan Yusril Ihza Mahendra-salah satu anak didik Natsir-partai berlambang bulan bin-tang -itu penuh orang yang berbeda alir-an dan karakter politik.

Masyumi saat itu adalah biduk yang memuat orang Islam dari banyak kalangan: ada abangan, sarjana didikan Belanda, sampai santri Nahdlatul Ulama. "Selain intensitas dalam pandangan-pandangan ideologi. Juga ada faktor etnis," kata Bachtiar Effendi, peneliti Masyumi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Ke-ragaman ini membuat biduk Mas-yumi oleng ke kiri dan kanan. Semasa Natsir, misalnya, Partai Masyumi bekerja sama dengan Partai Sosialis Indonesia. Tapi tidak pernah bisa akur dengan Partai Nasional Indonesia. Namun, saat kendali partai dipegang Sukiman-karena Natsir naik gunung bersama Pemerintahan Re-volusioner Republik Indonesia di Sumatera-Masyumi justru akrab dengan Partai Nasional.

Menurut Yusril, elite Masyumi- berasal dari alumni Jong Islaminten Bond dan Islamic Studie Club. Sebagian mereka juga pernah mendirikan Partij Sarekat Islam Indonesia pada zaman Belanda. Ciri utama mereka adalah didikan sekolah Belanda dan tertarik pada Islam. Sebagian besar mereka adalah kaum Islam Jawa, seperti Mohammad Roem dan Sukiman. Ada juga yang mulanya condong ke kiri, seperti Sjafroeddin Prawiranegara. Pa-da masa awal kemerdekaan, Masyumi ju-ga nyaris terbelah akibat perbedaan sikap menanggapi perundingan Roem--Royen. Natsir bahkan menjadi salah satu pengkritik keras Mohammad Roem karena menjadi juru run-ding dalam perjanjian Roem-Royen.

Tokoh macam Mohammad Roem, Kasman -Singodimedjo, Prawoto Mangku-sas-mito, Abu Hanifah atau Mahmud Latjuba (kakek Sofia Latjuba) lebih banyak memakai istilah-istilah Belanda ketimbang Arab. Dalam soal gaya hidup, beberapa karib Natsir itu merayakan pesta jarig (ulang tahun). Ada pula Moh. Roem yang memiliki hobi berkuda. Dalam soal ini, Natsir memi-lih moderat. Ia cuma tersenyum bila mendengar cerita pesta koleganya. "Tidak mudah me--manage partai saat itu," Yusril menjelaskan.

Di awal merdeka memang terlihat Natsir memilih mendahulukan kepentingan negara ketimbang partai atau dirinya sendiri. Ketika pemerintah Republik Indonesia mengungsi ke Yogyakarta, Natsir dan Soekarno sempat berhubungan dekat.

Mohammad Chudori, 83 tahun, mantan wartawan Antara, yang saat itu menjadi anggota Laskar Hizbullah, menjadi saksi sulitnya posisi Natsir. Pada 1949, karena merasa terancam lantar-an ajak-an baiat Kartosoewirjo se-bagai Tentara Islam Indonesia, Chudori memerlukan nasihat Natsir. Tapi apa daya, Natsir menyerahkan keputusan itu kepada dirinya. "Itu terserah pada pilihan Bung sendiri. Saya tidak bisa menentukan," kata Natsir.

Namun sejarah mencatat, Natsir akhirnya memilih berhadap-an dengan Kartosoe-wirjo, yang juga pendiri Masyumi tersebut. "Partai Masyumi hendak mencapai maksudnya dengan jalan demokratis parlementer, melalui jalan sesuai Undang-Undang Dasar... dan tidak dengan jalan kekerasan," tulis Natsir-saat itu sudah menja-di perdana menteri-dalam Peng-umuman Sikap Dewan Pimpinan Masyumi atas Pemberontakan Darul Islam, Januari 1951. Natsir sendiri pernah melobi Kartosoewirjo agar menyerah melalui bantuan A. Hassan. Sayang, tidak berhasil. Kartosoewirjo pun akhirnya tertangkap 4 Juni 1962 dan dihukum mati pada Agustus tahun itu juga.

Di usia tuanya, ketika memimpin Dewan Dakwah Islamiyah, Natsir makin dicintai. Suatu hari pada 1984, mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Amien Rais (saat itu aktivis Muhammadiyah) menum-pang mengetik di DDI untuk menyiapkan bahan seminar di Islamabad. "Mien, sudah jam satu, makan dulu," kata Natsir kepada Amien sembari lewat. Sejam kemudian, Natsir kembali lewat. "Ini sudah hampir jam dua, makan dulu," kata Natsir mengingatkan. Amien mengaku sangat terharu mendapat perhatian Natsir. "Beliau orang besar, sikapnya kepada anak muda membuat saya tersentuh," kata Amien Rais mengenang.

Natsir memang telah membuktikan mampu berkawan dengan siapa saja.

Sumber:
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/07/14/LK/mbm.20080714.LK127669.id.html

Mohammad Natsir
Bahtiar Effendy

Pengamat Politik Islam


Hari-hari ini kita mengenang satu abad Mohammad Natsir. Tokoh yang dilahirkan pada 1908 itu telah mewariskan pemikiran yang terus akan dibicarakan. Meskipun gagasan yang ditinggalkannya begitu beragam, meliputi persoalan kebangsaan, pendidikan, dakwah, keagamaan, dan sebagainya, masyarakat akan lebih menekankan perhatiannya pada politik. Pemikiran dan aktivismenya di wilayah ini mematrikan dirinya sebagai salah seorang pengemuka politik Islam. Sebanding dengan masalah pokok yang terus dihadapi Islam politik, banyak orang yang akan teringat kepada Natsir ketika berbicara mengenai hubungan antara agama yang dianut mayoritas penduduk negeri ini dan kehidupan politik sehari-hari.

Tak jelas apa yang mendorong Natsir memasuki wilayah politik. Mungkin sama dengan yang dialami Soekarno, Hatta, Sjahrir, Wahid Hasyim, dan tokoh-tokoh pergerakan lainnya bahwa "zaman"-lah yang telah memanggil mereka. Kolonialisme yang berkepanjangan, semangat nasionalisme yang mulai berkobar, serta bayang-bayang kemerdekaan yang bakal hadir adalah faktor-faktor yang menyebabkan mereka berpolitik. Dalam perspektif ini, mereka berpolitik bukan demi power politics itu sendiri, tidak pula untuk mengikuti adagium who gets what, when, and how. Tapi, seperti yang tecermin dalam rumusan kata pembuka Undang-Undang Dasar 1945, sekadar untuk bersikap konsisten terhadap apa yang mereka yakini bahwa penjajahan memang harus dilenyapkan dan kemerdekaan merupakan hak segala bangsa.

Berbeda dengan para pendiri republik di Eropa atau Amerika, yang tidak harus peduli akan tempat agama dalam negara, para pendiri republik kita, termasuk Natsir, dihadapkan pada sebuah kenyataan bahwa agama merupakan realitas yang hidup. Agama telah menjadi bagian dari sistem sosial dan budaya masyarakat. Hingga pada tingkat tertentu, agama telah berperan sebagai sumber inspirasi dan alat mobilisasi dukungan untuk melawan penjajahan.

Karena itu, mereka dipaksa berpikir keras mengenai posisi dan peran yang sesuai bagi agama dalam negara-bangsa (nation-state) yang mereka bangun itu. Dalam hal ini, sejak awal Natsir cenderung meletakkan kata sifat agama di belakang negara. Untuk itu, bagi Natsir, nasionalisme Indonesia mestilah bersifat "kebangsaan muslimin". Ini konsisten dengan pandangannya mengenai Islam sebagai dasar negara, Islam sebagai ideologi. Besar kemungkinan pandangannya itu didorong oleh pemahaman teologisnya, sembari mengutip pemikir yang sering dirujuknya, Montgomery Watt, bahwa "Islam is more than a religion, it is a complete civilization."

Di sinilah Natsir berbeda dengan Soekarno, yang sering mengutip paham Ataturisme atau Kemalisme ketika berbicara mengenai hubungan antara agama dan negara. Ketika Soekarno, untuk alasan yang juga mulia (benign reason), mengkampanyekan paham pemisahan antara agama dan negara, Natsir menolaknya. Menurut dia, selain alasan teologis di atas, sekularisme mengingkari kenyataan so-siologis masyarakat-ya karena agama telah menjadi a li-ving reality itu!

Sebagian besar karena pandangan ideologis ini, Natsir sering disalahpahami. Banyak orang yang menganggap ak-tivisme dan pemikirannya bersifat discordant, tidak pas dengan konteks kemajemukan paham keagamaan di negeri ini. Perdebatannya yang luar biasa kerasnya dengan Soe-karno mengenai soal kebangsaan (didasarkan pada agama atau bukan), dengan rival politiknya di Dewan Konstituante tentang dasar negara (Islam atau Pancasila), telah membuat sebagian orang mengkategorikannya sebagai "golongan agama". Ini merupakan sebuah penggolongan ideologi-politik yang dikenakan kepada mereka, termasuk sebagian bapak pendiri republik kita, yang memperjuangkan Islam sebagai dasar negara.

Awalnya, hal itu merupakan penggolongan biasa. Ketika persinggungan antara Islam dan negara menajam, dimulai pada periode ketika Soekarno menerapkan paham "demokrasi terpimpin", dan dibakukan pada masa Soeharto yang menjalankan sistem "demokrasi Pancasila", paham Natsir dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya. Karena itu, baik Soekarno maupun Soeharto menekannya secara sistematis, sehingga membicarakannya saja merupakan sesuatu yang tabu. Implikasi dari ketabuan itu sangat luas dan pada awal 1970-an Natsir merasakan bahwa negara telah memperlakukan Islam bagaikan kucing kurap (a cat with ring-worms).

Tapi sesungguhnya Natsir tidak hanya berbicara me-ngenai Islam sebagai dasar negara atau persatuan antara agama dan negara. Ia juga berbicara mengenai modernis-me, demokrasi, hak asasi manusia, dan persamaan hak serta rasisme sebagai monster bagi kemanusiaan dan peradaban. Kombinasi kesempatan yang dimilikinya untuk mengenyam pendidikan Barat dan mempelajari Islam telah memungkinkannya melahirkan pemahaman Islam modern. Melalui partai yang dipimpinnya, Masyumi, ia memperjuangkan itu semua.

Pada zamannya, ia juga menjadi kampiun demokrasi dan penghormatan atas hak asasi manusia. Ketika para nasionalis Jawa, baik yang tergabung dalam partai besar maupun kecil, menginginkan pemilihan umum tidak langsung, Natsir justru memperjuangkan yang sebaliknya. Demikian juga ketika hak asasi manusia menjadi momok bagi sebagian anggota Dewan Konstituante, Natsir justru ikut memperjuangkannya menjadi pasal-pasal penting dalam Undang-Undang Dasar-yang sayangnya tak jadi disahkan itu.

Inilah warisan Natsir yang-entah karena apa-tak banyak dikutip orang. Nasibnya mirip Masyumi, partai yang hampir-hampir identik dengan dirinya. Partai ini lebih sering dinilai sebagai pejuang Islam sebagai dasar negara ketimbang kampiun demokrasi dan hak asasi manusia. Seperti ditulisnya dalam Pembela Islam, edisi Januari-Maret 1932, Natsir pemegang teguh paham "lillah dasar usaha kita, ilallah arah tujuan kita". Gagasannya mengenai peme-rintah yang demokratis dan yang menghormati hak asasi manusia adalah interpretasi modern Natsir atas Islam.

Kalau saja Natsir sempat menuliskan gagasannya me-ngenai Islam sebagai ideologi negara secara lebih "panjang", mungkin kolega politiknya akan lebih "jelas" memahami duduk soalnya. Demikian pula, jika saja kita semua bersedia melihat Natsir dalam kerangka Islam dan demokrasi, Islam dan hak asasi manusia, barangkali "keta-kutan" atas paham Natsir tak perlu muncul.

Sayangnya, kita lebih terbawa oleh angin sentimen -ideologis Islam versus Pancasila. Padahal Natsir tidak selalu menjukstaposisikan keduanya secara diametral. Pada awal 1950-an, di Pakistan, ia mengisyaratkan kese-suaian Pancasila dengan Islam. Hal itu diulanginya tiga dasawarsa kemudian. Pada 1982, ketika teks buku Pendidikan Moral Pancasila yang kontroversial itu sedang hangat-hangatnya dibicarakan, ia mengatakan, "Pancasila akan hidup subur dalam pangkuan ajaran Islam."

Dan mereka yang mengaku ahli waris Natsir, ahli waris Masyumi, baik pada awal Orde Baru maupun ketika pe-merintah Soeharto tumbang, tak kunjung memperjelas ga-gas-an yang diwarisinya itu. Alih-alih memperjelas platform ideologi dan politik partai ini, mereka hanya berte-duh di bawah kebesaran Masyumi.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/07/14/LK/mbm.20080714.LK127670.id.html

Adnan Buyung Nasution:
Negara Islam Tak Bisa DiPaksakan

Selama periode Konsti-tuante (1956-1959), pe-nam-pilan Masyumi dan Natsir sangat mengesankan Adnan Buyung Nasution. Penulis buku Aspirasi Pemerintahan -Konstitusional di Indonesia, Studi Sosio-Legal Atas Konstituante 1956-1959 (Grafiti Pers, 1995) ini menyatakan, praktek politik Masyumi tidak bisa dilepaskan dari cara pandang partai Islam tersebut melihat Konstituante. Lembaga itu dilihat sebagai tempat yang dijanjikan dalam Proklamasi untuk berjuang secara demokratis mencapai cita-cita negara Islam.

Sebagian orang menuduh cita-cita negara berdasarkan syariat Islam tidak dapat dikompromikan. Hal itu pula yang menjadi alasan pembubaran Konstituante melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Padahal, menurut advokat senior yang meng-kaji pe-riode Konstituante sebagai -disertasi doktornya di Universitas Utrecht,- Belanda, pada 1992, kompromi sebenarnya sudah di depan mata. Natsir yang mewa-kili kubu Masyumi sebenarnya telah menerima negara Pancasila. "Tetapi proses itu digagalkan oleh militer, yang tak sabar dan berkepentingan untuk kembali ke UUD 45, yang menjamin hak politik mereka," kata Buyung kepada Tempo dua pekan lalu.

Seberapa penting peran Natsir dalam Konstituante?

Peran Natsir sangat signifikan karena posisinya sebagai pemimpin Masyumi. Pikirannya umumnya diikuti anggota, ke-cuali beberapa orang kiai Nahdlatul Ulama. Beliau termasuk bintang di Konstituante, meskipun sikapnya bukan yang paling keras. Pikirannya mendalam dan filosofis.

Menurut pandangan Natsir- dan Masyumi, Konstituante adalah tempat yang dijanjikan oleh Proklamasi. Jika keadaan nega-ra sudah aman, akan dibentuk -Konstituante sebagai tempat perjuangan menentukan dasar negara. Bagi mereka, Konstituante sekadar tempat perjuangan, bukan tempat mendirikan negara Islam seperti tuduhan militer atau para lawan politik. Natsir mengatakan, "Kami memperjuangkan dasar negara Islam secara demokratis di lembaga demokrasi. Tetapi kalau mayoritas rakyat tidak menghendaki, ya kami akan mengalah." Ini ucapan Natsir kemudian saat aktif di Petisi 50 kepada saya.

Seperti apa pikiran Natsir dalam Konstituante?

Dia yakin bahwa hidup ini, dari lahir sampai mati, adalah totalitas di bawah kedaulatan Tuhan, termasuk kehidupan bernegara. Hubungan agama dan negara tidak bisa dipisahkan. Kita bukan negara sekuler, tapi mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena itu, menurut Natsir, dasar negara haruslah Islam.

Kenapa? Jika ajaran Islam yang merupakan agama wahyu ditinggalkan sebagai dasar negara, kita ibarat melompat ke tempat yang gelap setelah mengalami terang-benderang. Selain itu, jika kelak kita sebagai negara kesasar, maka ada tempat kembali yang jelas, yakni Islam. Tetapi, jika menggunakan dasar negara lain, there are no point of return. At least, kata Natsir, kita masih punya Al-Quran dan hadis. Ajaran-ajaran Islam ini sebagai tempat kembali.

Alam Pancasila ini kan masih gelap karena tak jelas itu apa. Pancasila adalah buatan manusia, yang tidak memberikan cukup pegangan, terutama dalam pemahaman tentang ketuhanan- dan agama. Jika umat Islam dipaksa atau diwajibkan menerima Pancasila sebagai dasar negara, mereka seperti masuk ke ruang hampa, vakum, tidak ada pegangan.

Ibaratnya, Natsir memakai istilah, bentuk dan isi tidak dapat dipisahkan. Bentuknya negara dan isinya masyarakat. Dan masyarakat Indonesia itu 90 persen lebih beragama Islam. Pikiran untuk memisahkan negara dengan agama, menurut dia, sama sekali tidak dapat ditoleransi oleh umat Islam karena bertentangan dengan ajaran kedaulatan Tuhan.

Dari pihak Natsir, seperti apa operasionalisasi dari gagasan negara Islam dalam konstitusi kelak?

Sejauh saya memahami Natsir, dia memisahkan masalah ibadah dan muama-lah. Ibadah itu menyangkut hukum-hukum Islam yang mengatur soal hubungan manusia dan Tuhannya. Itu sudah har-ga mati. Yang bisa diatur adalah urusan muamalah atau kehidup-an bersama antara umat Islam dan umat yang -la-in--atau urusan berne-gara. Allah sendiri berfirman, kalau urusan di antara kamu, aturlah.... Begitu sering dikatakan Natsir. Jadi memang kalau menyangkut urusan bersama, hukum harus disepa-kati oleh dua pihak secara demokratis. Tidak bisa pihak Islam memaksakan kehendaknya.

Secara konstitusi saya juga melihat, hal itu tidak sulit dilakukan. Kita, misalnya, menjamin umat Islam menjalankan ibadah. Sama seperti kita menjamin umat agama lain menjalan-kan ibadahnya. Di luar itu adalah kesepakatan bersama. Natsir tidak berpikir seperti orang Aceh sekarang, yang inginnya mengatur semuanya berdasarkan hukum Islam melalui qanun.

Seberapa sering Natsir mengemukakan gagasannya dan bagaimana respons anggota Konstituante lain?

Paling kurang dua kali Natsir menguraikan apa makna dasar negara Islam dan kegunaannya. Pikiran ini banyak diikuti oleh anggota lain.

Apakah Natsir dan Masyumi juga melakukan pendekatan di luar sidang atau lobi untuk menjelaskan gagasannya?

Saya kira ada. Tetapi saya kurang mendalami hal itu. Karena, meskipun dalam Kontituante mereka berdebat keras, di luar sidang mereka sangat dekat. K.H. Isa Ansyari bisa makan sate bersama dengan Aidit yang notabene Ketua Partai Komunis Indonesia. Bahkan Aidit sering meng-inap di rumah Isa Ansyari jika ke Sukabumi. Itu penjelasan yang saya dapat dari profesor Utrecht di Belanda.

Setelah saya kembali dari Belanda, Natsir membenarkan pendapat saya bahwa tidak benar jika Konstituante deadlock. Menurut dia, saat itu memang reses selama 2-3 minggu. Meski begitu, mereka masih intens mencoba mencari solusi. Natsir bersama Prawoto Mangkusasmito, misalnya, masih berbicara dengan Wilopo dan Idris Ilyas mencari jalan keluar.

Seperti apa perubahan sikap Natsir dan Masyumi menjelang Konstituante dibubarkan?

Masyumi sudah tahu akan kalah. Jadi, tidak ada gunanya memaksakan dasar negara Islam. Suara dan dukungan untuk mereka tidak bisa mencapai dua pertiga suara di Konstituante. Tapi jumlah yang menghendaki Pancasila juga tidak sampai dua pertiga juga. Jadi sama-sama kalahnya. Saya punya tesis, seharusnya mereka kembali ke sidang Konstituante karena waktu itu memang sedang reses.

Tetapi, karena politisasi tentara melalui Ikatan Partai Pendukung Kemerdekaaan Indonesia (IPKI), yang didukung Partai Komunis dan Partai Nasional Indonesia. Mereka memboikot sidang Konstituante. Jadi, jika dibuka pun, sidang tidak akan -kuorum. Dengan alasan itu, Konstituante dikatakan gagal.

Seperti apa jalan keluar yang dicoba dilakukan Natsir dan -Masyumi mengatasi kemelut di Konstituante?

Saya pernah bertanya kepada Prawoto Mangkusasmito, andai kata waktu itu Konstituante tidak dihancurkan dari dalam dan dari luar, baik oleh tentara maupun oleh orang-orang Soekarnois, apakah bisa dicapai kompromi? Kata Prawoto bisa.

Waktu itu, di luar Konstituante muncul gerakan-gerakan massa, teror mental, intimidasi, dan segala cara dilakukan oleh pihak militer yang berkuasa dan Partai Komunis yang selalu mendorongnya. Pada saat itu, seolah-olah orang digiring untuk tidak punya pilihan lain kecuali UUD 45. Apalagi setelah Soekarno pulang dari Tokyo karena disusul Roeslan Abdulgani, desakan itu bukan main kerasnya.

Padahal, diam-diam para pimpinan Konstituante, Wilopo, Prawoto, Idris Ilyas, Natsir, dan beberapa yang lain masih berunding mencari modus yang acceptable dengan landasan demokrasi. Mereka sepakat, demokrasi harus dijaga demi menyelamatkan konsep pluralisme, menyelamatkan cita-cita negara hukum. Dalam pengertian rechstaat menurut mereka, ideologi juga sama seperti demokrasi. Juga penghormatan kepada hak asasi manusia.

Waktu itu pihak Natsir atau Masyumi sudah sampai pada kesadaran bahwa dasar negara Islam tidak bisa dipaksakan. Kalau kelihatan tegang, ya, -wajar saja. Di lembaga demokrasi, orang bebas menggunakan hak demokra-si-nya, dan itu tidak berarti memaksakan kehendaknya.

Seandainya tidak gagal, kira-kira seperti apa konstitusi hasil kesepakatan Konstituante?

Saya kira tidak akan jauh dari UUD Sementara 1950. Itu acuan yang paling dekat. Mukadimah tetap, hanya materi atau batang tubuh yang diubah. Sistem pemerintahannya parlementer dan tidak memberikan tempat kepada tentara atau golongan fungsio-nal. Juga ada pembatasan yang jelas antara kekuasaan negara dan hak asasi warga negara.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/07/14/LK/mbm.20080714.LK127671.id.html

Tangis Untuk Mangun Sarkoro

Dipa Nusantara Aidit, Ketua Comite Central Partai Komunis Indonesia, adalah musuh ideologis nomor satu Mohammad Natsir. Aidit memperjuangkan tegaknya komunisme di Indonesia. Natsir sebaliknya. Tokoh Masyumi itu menginginkan negara dijalankan di atas nilai-nilai Islami. Pertentangan ini membuat keduanya sering berdebat keras di ruang sidang Dewan Perwakilan Rakyat dan Konstituante. Tapi, di luar sidang, keduanya bersahabat.

Inilah sosok multikultural Natsir yang dikenang dengan bangga oleh orang-orang dekatnya. "Dia tak punya handicap berhubung-an dengan golongan nonmuslim," ujar Amien Rais. Setelah menyelesaikan studi doktoral di Universitas Chicago pada 1984, Amien yang bekas Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat ini sering menjadi teman ngobrol Natsir. "Saya kira Pak Natsir banyak menyerap kearifan H.O.S. Tjokroaminoto," ujar Amien.

Soal hubungan dengan Aidit, Natsir banyak bercerita kepada Yusril Izha Mahendra, Ketua Partai Bulan Bintang. Tatkala masih kuliah di Jakarta, Yusril amat dekat dengan Natsir. Menurut Yusril, Natsir sering tak bisa mengendalikan emosi ketika berdebat dengan Aidit di parlemen. "Pak Natsir bilang, rasanya dia ingin menghajar kepala Aidit dengan kursi," kata Yusril.

Tapi, hingga rapat selesai, tak ada kursi yang melayang ke kepala Aidit. Malah, begitu meninggalkan ruang sidang, Aidit membawakannya segelas kopi. Keduanya lalu ngerumpi tentang keluarga masing-masing. Itu terjadi berkali-kali. "Kalau habis rapat tak ada tumpangan, Pak Natsir sering dibonceng sepeda oleh Aidit dari Pejambon," Yusril menambahkan.

Keakraban penuh warna, bersahabat tapi berseberangan secara ideologis, terjadi sejak 1945 hingga zaman demokrasi liberal, 1950-1958. Pada masa itu parlemen menjadi tempat pertarungan ideologi yang tak habis-habisnya.

Natsir pun tidak cuma bertentangan dengan Aidit. Di seberang dia juga ada tokoh Katolik seperti I.J. Kasimo dan F.S. Hariyadi, tokoh Partai Katolik, serta J. Leimena dan A.M. Tambunan dari Partai Kristen Indonesia. Sementara Natsir membela ideologi Islam, Kasimo dan teman-teman berkeras mempertahankan Pancasila.

Toh, seperti pada Natsir dan Aidit, mereka tetap berkawan di luar ruang sidang. Ketika Natsir mengajukan Mosi Integral dalam sidang Parlemen Republik Indonesia Serikat pada 3 April 1950, justru tokoh-tokoh nonmuslim inilah yang tegak di belakangnya. Dalam pidato yang berapi-api, Natsir menegaskan pentingnya melebur kembali wilayah-wilayah Republik Indonesia Serikat ke dalam Negara Republik Indonesia.

Amien Rais berkisah, suatu ketika Natsir mengenang masa-masa dia menjadi perdana menteri. Natsir memberikan wejang-an tentang kepemimpinan. Katanya, seorang pemimpin harus seperti tukang kayu yang te-rampil: bisa memanfaatkan semua jenis kayu.

Barangkali itulah sebabnya, Natsir merangkul tokoh-tokoh Kristen dalam Kabinet Natsir (1950-1951). Hariyadi dia tunjuk menjadi Menteri Sosial. Herman Johannes-tokoh Kristen dari Partai Indonesia Raya-mendapat kepercayaan memimpin Departemen Pekerjaan Umum.

Sikap Natsir ini ternyata juga menjadi sikap para pemimpin Masyumi lain ketika itu. Contohnya Isa Ansari. Kiai ini sering mengajak Aidit dan Nyoto makan sate setelah berdebat. "Kalau Aidit ke Sukabumi, dia menginap di rumah Kiai Ansari," demikian advokat senior Adnan Buyung Nasution berkisah.

Pergaulan multikultural juga tampak pada Prawoto Mangkusaswito. Tokoh yang pernah menjadi Ketua Masyumi ini akrab dengan Kasimo. Bahkan Kasimo membelikan rumah untuk Prawoto di Yogyakarta.

Mohammad Roem lain lagi ceritanya. Ini menurut penuturan Joesoef Isak, mantan wartawan harian Merdeka. Pada masa Orde Baru, Roem sering bertemu Oei Tjoe Tat, tokoh Tionghoa dan bekas menteri Kabinet Dwikora. Kebetulan rumah mereka berdekatan di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Yang satu di Jalan Blora, satunya lagi di Teuku Umar. Padahal pada zaman Demokrasi Terpimpin keduanya berseberangan. Oei aktif di Partai Indonesia, yang dianggap ber-afiliasi dengan PKI.

Suatu ketika keduanya berpapasan. Oei menegur Roem: "Roem, kok bisa ya kita ini berhadapan dalam politik? Padahal kita toh enggak ada apa-apa." Tak ada orang lain di dekat mereka saat itu, tapi Roem menjawab dengan berbisik: "Oei, kita kan sama dididik Belanda. Jadi, kita harus menghargai orang lain. Perbedaan pendapat itu biasa."

Setelah menyingkir dari dunia politik, Natsir mulai aktif di Dewan Dakwah pada 1967. Namun hubungan baiknya dengan kawan "tak sehati" pada zaman Demokrasi Liberal tak putus. Sitti Mucliesah, anak perempuan pertama Natsir, bercerita, Aba-demikian mereka memanggil ayahnya-masih sering mengirimkan bunga untuk Kasimo dan Leimena pada setiap Tahun Baru.

"Pak T.B. Simatupang bahkan sering datang ke rumah untuk berdiskusi dengan Aba," cerita Sitti. Perkawanan terjalin antarkeluarga. "Kami dan anak-anak Pak Leimena sampai sekarang masih berhubungan baik," ujarnya. Aba, menurut Sitti, tak pernah melarang mereka berteman dengan orang nonmuslim.

Pada 1978 tokoh-tokoh yang prihatin terhadap Orde Baru membentuk Lembaga Kesadaran Berkonstitusi. Ketuanya Abdul Haris Nasution, penasihatnya Mohammad Hatta. Natsir ikut bergabung, bersama Kasimo, meski kala itu dia masih aktif di Dewan Dakwah. Banyak anggota Lembaga Kesadaran Berkonstitusi ini kemudian ikut meneken Petisi 50 pada 5 Mei 1980, termasuk Natsir.

"Saya banyak belajar dari dia tentang menghargai orang yang berbeda pendapat," kata Chris Siner Key Timu, tokoh Katolik yang ikut menandatangani Petisi 50. Dia mengenal Natsir sejak di Lembaga Kesadaran, namun baru berhubungan dekat setelah sama-sama nyemplung di Petisi 50.

Suatu ketika, tidak sengaja- Chris bertemu Natsir di kantor- Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Natsir datang untuk ber-konsultasi tentang pencekalan atas dirinya. Bersama penanda tangan Petisi yang lain, dia dilarang bepergian ke luar negeri. Chris datang membicarakan kemungkinan menuntut pemerintah, yang telah "memaksa" Universitas Atma Jaya Jakarta memecatnya. "Ketika mau pulang, Pak Natsir menawari saya ikut mobilnya," ujar Chris.

Mereka tidak searah. Jadi, ketika tiba di depan kantor Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jalam Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Chris minta diturunkan. Rencananya, dia akan melanjutkan perjalanan dengan bus ke Semanggi. Tapi Natsir marah dan berkeras mengantar hingga Semanggi. "Padahal saya ini siapalah?" Chris mengenang.

Tapi itulah Natsir, solidaritas dan semangat setia kawannya tinggi. Kepada majalah -Editor, dalam sebuah wawancara khusus pada 1988, dia menjelaskan sikapnya yang mengherankan kawan tapi membuat segan lawan. "Untuk kepentingan bangsa," ujarnya, "para politikus tidak bicara kami dan kamu, tetapi kita."

Sikap itu dia buktikan manakala Ki Sarmidi Mangunsarkoro, salah seorang pimpinan Partai Nasional Indonesia (PNI), meninggal. Natsir melayat dan menangis. Tentu saja ini mengagetkan semua orang. Soalnya, PNI pernah berseberangan dengan Masyumi. Akibat mosi yang diajukan Ketua PNI ketika itu, Hadikusumo, Natsir -membubarkan kabinetnya yang baru -berumur setahun pada 12 Maret 1951. Peristiwa penting ini diabadikan Abadi, majalah Masyumi. Majalah itu menulis berita utama dengan judul: "Air Mata Natsir Mengalir di Rumah Mangunsarkoro".

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/07/14/LK/mbm.20080714.LK127672.id.html

MOHAMMAD NATSIR, PEMIKIR NEGARAWAN

M. Amien Rais
Mantan Ketua MPR

Pada paruh kedua abad ke-20, Dunia Islam menyaksikan setidaknya tiga fenomena kebangkitan Islam yang di samping memiliki persamaan, juga perbedaan: pertama, al-Ikhwan al-Muslimun di Mesir dengan protagonisnya Sayyid Qutub; kedua, Jama'at al-Islami di Pakistan yang dipimpin oleh Abul A'la al-Maududi; dan ketiga, Partai Islam Masyumi di Indonesia dengan tokohnya yang paling terkenal, Dr. Mohammad Natsir.

Ketiga tokoh Islam dunia itu hampir sebaya, dan sama-sama pernah merasakan masuk-keluar penjara. Sayyid Qutub bahkan meninggal syahid di tiang gantungan. Maududi pernah dijatuhi hukuman mati, kemudian dibebaskan karena tekanan internasional pada pemerintah Pakistan. Pak Natsir sempat �beristirahat" di penjara selama empat tahun (1961-1965) sebelum bergiat lagi di medan dakwah dan pendidikan.

Ketiganya amat produktif dalam menulis dan memasyarakatkan gagasannya. Qutub menulis antara lain kitab tafsir fi dzilal al-Qur'an, Maududi tafhim-al-Qur'an, Natsir fiqh al-dakwah, di samping dua jilid Capita Selecta. Dari ketiga tokoh besar itu hanya Pak Natsir yang pernah menduduki posisi kenegaraan, sebagai perdana menteri. Ketiganya telah tiada, namun kepemimpinannya, integritasnya, keberaniannya, kearifannya, dan sumbangan masing-masing pada pemikiran ke-Islam-an kontemporer tetap menjadi teladan dan rujukan banyak kalangan.

Banyak pengamat Barat menengarai bahwa al-Ikhwan, Jama'at al-Islami, dan Masyumi tergolong apa yang mereka namakan fundamentalisme Islam. Tidak ada pengertian yang bulat mengenai apa yang dinamakan fundamentalisme itu. Tetapi, bila yang dimaksudkan bahwa ketiga gerakan atau partai Islam itu adalah untuk menjadikan Islam, agama wahyu, sebagai landasan kehidupan dunia dalam segala aspeknya, memang tidak keliru. Ketiganya meyakini bahwa Islam diturunkan ke dunia lewat para nabi dan rasul dimaksudkan sebagai pedoman hidup integral manusia. Inilah persamaan mendasar antara Qutub, Maududi, dan Natsir.

Namun teoritisasi konsep yang sama itu berbeda dalam elaborasi dan implementasinya. Qutub melihat abad ke-20 sebagai abad jahiliah. Dua tahun pengalamannya di Amerika Serikat semakin meyakinkan Qutub bahwa kehidupan Dunia Barat mencerminkan materialisme, hedonisme, rasisme, permisifisme, dan kehidupan serba dang-kal. Kehidupan hedonistik itu tidak boleh menggenangi Dunia Islam. Qutub mengobarkan al-inqilab al-Islami ad-duwali, revolusi Islam internasional.

Dunia Islam harus memukul balik pengaruh Barat yang jahiliah. Ketika Gamal Abdul Nasser menggulingkan pemerintahan monarki Raja Farouk pada 1952, Qutub merapat ke Nasser. Akan tetapi, ketika ternyata Nasser mengembangkan ideologi nasionalisme sekuler dan tidak menjadikan Islam sebagai dasar negara, keduanya mulai berhadapan. Ketika ada percobaan pembunuhan terhadap Nasser pada 1954 oleh sempalan al-Ikhwan, Qutub dipenjara dan akhirnya digantung pada 1964.

Dia meninggal dengan tragis tetapi pikiran-pikiran revolusionernya terus berpengaruh di berbagai pojok dunia, terutama di kalangan anak muda dan mahasiswa. Karya pentingnya, Ma'alim fi al-thariq, di samping kitab tafsirnya, terus dibaca oleh generasi muda dan dapat mengobarkan semangat revolusioner mereka. Bahkan ada spekulasi intelektual bahwa sampai batas tertentu pikir-an-pikiran Qutub telah memberikan andil pada teoritisasi revolusi Islam dari Ayatullah Imam Khomeini.

Maududi menebarkan sejumlah gagasannya secara lebih canggih. Penguasaannya dalam berbagai ilmu ke-Islam-an cukup mendalam. Pemahamannya pada pengetahuan ekonomi dan filsafat modern tampak kuat. Ia mendalami teori-teori ekonomi neo-klasik dan juga memahami berbagai model ekonomi Keynesian. Maududi tidak percaya kapitalisme dapat membawa kesejahteraan, karena membiarkan keserakahan manusia tanpa batas dan menjadikan profit (laba) sebagai nilai tertinggi serta diremehkannya nilai-nilai etika.

Maududi memperkenalkan teori theodemokrasi. Rakyat diberi hak pilih hanya untuk menentukan pelaksanaan hukum Islam, karena kedaulatan sejati ada di tangan Tuhan. Rakyat memilih anggota legislatif bukan untuk membuat legislasi atau perundang-undangan yang bersifat man-made (buatan manusia) tetapi sekadar mengesahkan pelaksanaan hukum Allah. Kaum perempuan diseyogiakan untuk lebih banyak tinggal di rumah agar memudahkan tegaknya disiplin sosial. Mereka yang nonmuslim diberi hak sepenuhnya sebagai warga negara, namun perlu membayar sekadar pungutan finansial.

Yang diuraikan di atas tentu hanya pemikiran Qutub dan Maududi selayang pandang. Bagaimana dengan Mohammad Natsir? Pemimpin terpenting Masyumi ini juga memperkenalkan teori theodemokrasi. Hanya pemahamannya lebih longgar: Quran dijadikan bukan sebagai kitab hukum tetapi sebagai sumber hukum abadi. Sebagai sumber hukum, Quran bersifat abadi, selalu cocok untuk setiap zaman, di mana pun dan kapan pun manusia hidup.

Prinsip hukum Islam adalah semuanya boleh dilakukan kecuali yang dilarang. Seorang muslim boleh melakukan ijtihad sejauh-jauhnya, tetapi selalu ada batas mana yang haq dan yang bathil serta mana halal dan haram. Seperti hadis Imam Ahmad yang diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri, Nabi SAW mengumpamakan seorang beriman dengan seekor kuda yang diikat pada sebuah tiang. Kuda itu dapat merumput ke segenap penjuru sesuai dengan panjangnya tali yang mengikatnya. Bukan kebebasan tanpa batas.

Sudah lebih dari setengah abad lalu Pak Natsir mengingatkan bahwa demokrasi sekuler dapat berujung pada berbagai musibah kemanusiaan. Tanpa intervensi wahyu, manusia dapat terperangkap pada dorongan nafsu hewaniah dan meluncur ke arah anarki, chaos atau faudhau. Pak Natsir amat memahami teori dan praktek demokrasi, tetapi sekaligus melihat dengan jernih keterbatasannya. Theodemokrasi adalah demokrasi yang dibimbing oleh kebenaran wahyu.

Saya yakin tulisan para tokoh Islam seperti H.O.S. Tjo-kroaminoto, Haji Agus Salim, dan Mohammad Natsir sebelum proklamasi kemerdekaan 1945 secara langsung atau tidak telah meresap ke dalam sanubari kesadaran nasional bangsa Indonesia. Bila kita jujur, kita akan meyakini bahwa demokrasi yang kita anut sesuai dengan UUD 1945 bukanlah demokrasi sekuler, tetapi beraroma theodemokrasi.

Seorang demokrat sekuler dari Barat mungkin sulit mencerna demokrasi kita, karena konstitusi kita menyatakan hitam di atas putih bahwa �the State shall be based upon the belief in One God and Only God", sementara pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kita senantiasa disertai �with highest respect for religious values". Tetapi justru aroma theodemokrasi inilah yang menjamin demokrasi Indonesia tidak akan mengalami kehancuran.

Tidak berlebih jika dikatakan bahwa pandangan Natsir tentang demokrasi bersifat profetik dan visioner. Kita menyaksikan kehancuran demokrasi sekuler di berbagai kawasan dunia. Rasialisme muncul dengan amat kentara di belahan dunia yang berpaham demokrasi. Sehingga -rasisme struktural sulit diberantas di Inggris, Prancis, Jerman, dan negara-negara Eropa Barat lain. Kaum imigran menjadi warga kelas dua dan menjadi bulan-bulanan kelompok skin-head yang rasialis dan xenofobik.

Dengan konstitusi kita yang sarat dengan nilai-nilai agama, rasanya kita tidak akan terjebak ke dalam demokrasi bohong-bohongan seperti kita saksikan di panggung dunia sekarang. Rasisme, pencucian etnis, hedonisme, imoralisme, imperialisme ekonomi dan kolonialisme telanjang atas nama demokrasi telah membawa kemanusiaan di awal abad ke-21 kepada kesengsaraan yang makin luas.

Aroma theodemokrasi seperti digagas Pak Natsir yang menyelinap ke dalam UUD 1945 menjadi garansi atau jaminan bahwa bangsa Indonesia tidak akan jatuh ke kubangan demokrasi liberal dengan segala macam implikasi destruktif. Bangsa Indonesia akan bersama melawan siapa pun dan kelompok mana pun yang berusaha mengembangkan rasisme, diskriminasi, dan kesewenang-wenangan (istibdad), oleh karena tidak ada nilai-nilai agama universal yang membolehkannya.

Bangsa Indonesia, seperti halnya bangsa lain, tidak melahirkan banyak negarawan sekalipun memproduksi banyak politikus. Menurut sebuah kasus, negarawan adalah seorang yang memanfaatkan kepemimpinan politiknya secara arif dan waskita tanpa dibarengi kesetiaan sempit.

Sebuah teori kepemimpinan mengatakan negarawan adalah seorang yang memiliki wawasan dan moral yang jernih, konsistensi, persistensi, kemampuan berkomunikasi dan berjiwa besar. Pak Natsir memiliki itu semua. Keterlibatannya dalam PRRI didorong perlawanannya terhadap pemerintah pusat yang sewenang-wenang dan dalam usaha melawan komunisme. Saya setuju dengan banyak tokoh bangsa yang berpendapat bahwa hakikatnya Pak Natsir adalah pahlawan. Dengan mosi integralnya ia telah memberikan keteladanan tinggi bagaimana menjadi seorang pemimpin bangsa.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/07/14/LK/mbm.20080714.LK127673.id.html

SURAT UNTUK TENGKU ABDUL RAHMAN

SUDAH empat tahun lebih Mohammad Natsir menghuni Wisma Keagungan, rumah tahanan di daerah Kota, Jakarta Pusat. Rezim Orde Lama mengerangkengnya karena dianggap "melawan arus" dengan mendirikan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia pada 1958. Sebelumnya ia dua tahun menjadi tahanan di Batu, Jawa Timur.

Soekarno memberaikan rekan pergerakan Natsir: Sjafroeddin Prawiranegara dibuang ke Kedu dan Burhanuddin Harahap ke Pati. Sumitro Djojohadikusumo lebih dulu lari ke luar negeri. Di Wisma Keagungan, Natsir bergabung dengan Sutan Sjahrir dari Partai Sosialis, yang juga dipenjarakan Orde Lama.

Natsir masih dalam jeruji penjara ketika kekuasaan Soekarno tenggelam. Pada masa transisi, Pejabat Presiden Soeharto mengirim utusan: Sofjar, seorang perwira Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), yang kelak pensiun sebagai brigadir jenderal. Soeharto ketika itu masih menjabat Panglima Komando Cadangan. "Orang suruhan itu ipar dari keponakan saya, yang bekerja di Departemen Penerangan," kata Natsir, dalam sebuah wawancara dengan Agus Basri, mantan wartawan Tempo.

Utusan Soeharto itu bicara tentang usaha pemerintah memulihkan hubungan dengan Malaysia. Ketika itu komunikasi Jakarta dan Kuala Lumpur hancur akibat Soekarno melancarkan operasi "Ganyang Malaysia". Pada awal kekuasaannya itu, Soeharto berniat merajut kembali hubungan.

Soeharto mengirim dua orang kepercayaannya ke Kuala Lumpur, yaitu Ali Moertopo dan Leonardus "Benny" Moerdani. Pe-merintah Malaysia tidak menyatakan keberatan dengan utus-an itu. Tapi, seolah menghindar, Perdana Menteri Tengku Abdul Rahman mening-galkan Kuala Lumpur sehari sebelum delegasi dari Jakarta datang.

Misi Ali dan Benny gagal. Natsir pun menjadi harapan. Ia dikenal dekat dengan Abdul Rahman. Mereka beberapa kali bertemu, ketika bangsawan asal Kedah itu berkunjung ke Indonesia. Sofjar bertanya cara memulihkan hubungan kedua negara. Natsir menjawabnya dalam surat pendek: "Ini ada niat baik dari pemerintah Indonesia untuk memperbaiki hubungan antara Indonesia dan Malaysia. Mudah-mudahan Tengku bisa menerima."

Sofjar membawa tulisan tangan Natsir itu ke Kuala Lumpur. Dengan bantuan Tan Sri Ghazali Shafii, yang lama duduk dalam kabinet, surat sampai ke tangan Abdul Rahman. Segera setelah membaca surat Natsir, ia -berkata, "Datanglah mereka besok di tempat saya." Delegasi Indonesia diterima esok harinya. Hubungan kedua negara berangsur cair.

Menurut Deliar Noer, -peraih gelar doktor pertama dalam bidang ilmu politik di Indonesia, Natsir menyambut kelahiran rezim baru dengan penuh harapan. "Ia berharap penyelewengan pemerintahan Soekarno bisa diluruskan," Deliar menulis dalam Membincangkan Tokoh-Tokoh Bangsa.

Natsir mengeluarkan pernyataan pers yang mendukung Orde Baru, atas permintaan Soedjono Hoemardani, asisten pribadi Soeharto. Permintaan itu disampaikan mantan Duta Besar Republik Indonesia di Roma, Mohammad Rasjid. Sebagai imbalannya, Soedjono berjanji memberikan keleluasaan kepada Natsir dalam melakukan gerakan politik. Ternyata itu janji kosong belaka.

Dibebaskan dari tahanan pada awal 1966, Natsir berniat menghidupkan kembali Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), partai yang berdiri pada November 1945 dan dibubarkan oleh Soekarno 15 tahun kemudian.

Pada 15 Agustus 1966, apel akbar umat Islam digelar di Masjid Al-Azhar, Jakarta. Sekitar 50 ribu orang hadir, termasuk Sjafroeddin dan tokoh perge-rakan seperti Prawoto Mangkusasmito, Asaat, Mohammad Roem, dan Kasman Singodime-djo. Mereka menuntut pemerintah mengizinkan pendirian kembali Masyumi.

Soeharto menolak. Tumbuhnya kembali partai-partai lama dianggap akan memicu persoalan. Soeharto juga melarang tokoh -Masyumi memimpin partai yang baru didirikan, yaitu Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Para tokoh pergerakan Islam awalnya berharap Natsir memimpin partai itu. Melihat situasi yang tak mungkin, Mohammad Roem dijadikan alternatif. Ternyata ini pun tak berhasil.

Walau terpilih menjadi ketua umum dalam Kongres I Parmusi di Malang, 4-7 November 1968, Roem dilarang tampil. Penguasa belakangan merestui H.M.S. Mintaredja yang akomodatif dengan pemerintah. Dialah yang kemudian mengubah -Parmusi menjadi Muslimin Indonesia, lalu berfusi dengan PSII, Perti, dan Nahdlatul Ulama ke dalam Partai Persatuan Pembangunan pada 1973.

Menurut Yusril Ihza -Mahendra, yang pernah bekerja seruang dengan Natsir di Lembaga Pusat Pengembangan Masyarakat, Cikini, Jakarta, sang tokoh tak kecewa dengan kegagalan menghidupkan kembali Masyumi. Belasan tahun kemudian, Natsir berkata kepada Yusril: "Partai itu kan tergantung kita. Kalau merasa tidak perlu ada partai, nggak usah bikin partai." Natsir pun keluar dari jalur politik: mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.

Toh, ia tetap banyak membantu rezim Soeharto. Pada 1971, misi Soeharto ke Jepang untuk memperoleh kredit gagal. Tak lama setelah itu, Natsir berkunjung ke Jepang. Ia bertemu dengan tokoh-tokoh Kaidanren, organisasi pengusaha negeri itu. Ia meyakinkan kelompok pengusaha itu agar tak mengabaikan Indonesia.

Para pengusaha itu menjelaskan bahwa Soeharto datang pada waktu yang salah. Mereka berharap kunjungan dilakukan setelah Undang-Undang Kredit selesai dibuat. Mereka juga telah menyampaikan hal itu sebelumnya kepada Departemen Luar Negeri Indonesia. Tapi Soeharto tetap pergi.

Takeo Fukuada, yang ketika itu menjadi Menteri Keuangan Jepang, mengatakan pada 1993, "Beliaulah yang meyakinkan kami tentang perjuangan masa depan pemerintah Orde Baru di Indonesia." Walhasil, Jepang mengucurkan pelbagai bantuan dan pinjaman guna menopang ekonomi Indonesia yang runtuh pada akhir rezim Orde Lama.

Pengaruh Natsir di negara-negara Timur Tengah juga banyak membantu rezim Orde Baru. Suatu hari pada 1970, Ekki Sya-chroeddin menemuinya. Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam itu menyampaikan pesan Ali Moertopo, staf khusus Soeharto, agar Natsir menjajaki kredit dari negara-negara Arab. "Saya katakan kepada Ekki, baik saya bersedia. Tak perlu dibiayai, sebab saya memang akan ke sana untuk -kongres," Natsir bercerita kepada Tempo pada 1971.

Natsir meminta syarat kepada Ekki: sebelum berangkat dipertemukan dengan Soeharto. "Tidak usah lama, tiga menit saja," katanya. "Agar kalau berbicara di sana ada harganya. Sebab, saya orang partikelir." Hingga mantan perdana menteri itu berangkat, pertemuan tak dilakukan. Tapi Natsir tetap memenuhi permintaan Ali Moertopo.

Ia mengirim surat kepada pemerintah Kuwait: "Saya beberkan bahwa selama ini mereka menanam uang mereka ke Eropa, yang justru menguntungkan Yahudi. Mengapa mereka tidak juga mengirimkan uang mereka ke Indonesia?" Surat yang profokatif itu tak direspons.

Suatu malam Ali Moertopo datang ke rumah Natsir. Merasa gagal memenuhi keinginan pemerintah, Natsir minta maaf kepada tamunya. Tapi Moertopo berkata: "Sudah berhasil. Pemerintah Kuwait setuju menanam modalnya di bidang perikanan laut."

Tentu Natsir gerah dengan berbagai penyimpangan re-zim Soeharto. Pada 1980, ia menandatangani Petisi 50 bersama tokoh seperti Sjafroeddin, Kasman, Boerhanoeddin, Abdul Harris Nasution, Anwar Harjono, juga Ali Sadikin. Mereka mempersoalkan pidato Soeharto di Pekanbaru dan Cijantung. Hasilnya, mereka semua dilarang pergi ke luar negeri.

Larangan itu terus dikenakan- kepada Natsir pada 1990, keti-ka- Universiti Kebangsaan Malay-sia- dan Universiti Sains Pulau Mi-nang mengundangnya untuk menerima gelar doktor kehormatan. Ia juga tetap dicekal di ujung usianya, ketika beberapa negara menawarinya berobat. Ia -tutup usia di Rumah Sakit Cipto Ma-ngunkusumo, Jakarta, pada Sabtu tengah hari, 6 Februari 1993.

Anwar Ibrahim, mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia, mengenang perjumpaan terakhirnya dengan Natsir di rumah sakit. "Saya sedih melihat keadaan rumah sakit yang tidak layak untuk seorang pemikir besar Islam. Beliah layak mendapatkan layanan yang lebih baik," kata Anwar.

Rezim Orde Baru yang banyak dibantu Natsir melupa-kan sang tokoh di akhir hayatnya.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/07/14/LK/mbm.20080714.LK127674.id.html

BAJU PRNGANTIN BUAT BAMBANG

Suatu Lebaran di awal 1970-an. Tiga tokoh kemerdekaan itu berangkat dengan mobil beriring-an: Mohammad Natsir, Sjafroeddin Prawiranegara, dan Burhanuddin Harahap. Bertolak dari rumah Natsir di Jalan H O.S. Cokroaminoto Nomor 46, Jakarta Pusat, mereka menuju kediaman pribadi Presiden Soeharto di Jalan Cendana Nomor 8.

Natsir ditemani Muhammad Yunan Nasution, sekretaris jenderal terakhir Partai Majlis Syu-ra' Muslimin Indonesia (Masyumi). "Aba naik mobil sedan Holden Australia dengan sopir," kata Ahmad Fauzie Natsir, anak bungsu Natsir yang ketika itu 20-an tahun. Ia mengingat atap mobil ayahnya berwarna krem, sisi badannya hijau.

Tiba di Cendana, rombongan para mantan perdana menteri itu disambut Soeharto. Sang tuan rumah lalu mempersilakan mereka menikmati hidangan hari raya di ruang dalam. Ketika itu Soeharto baru dua tahun -menjadi presiden, menggantikan Soekarno.

Natsir, yang sebelumnya pernah menjadi perdana menteri dan Menteri Penerangan, lantas menyeruput minuman yang tersedia sembari menunggu. Namun, acara ngobrol-ngobrol, yang sebenarnya diharapkan untuk menjalin komunikasi informal dengan sang penguasa baru, tak kunjung tiba. Sang tuan rumah tak juga duduk menemani tamunya. Rombongan pun memilih pamit. "Datang, salaman, lalu pulang," tutur Natsir kepada Ramlan Mardjoned, asisten pribadinya, suatu ketika.

Kejadian ini, menurut Ramlan, berulang hingga tiga hari raya berikutnya. Pada kesempatan keempat, Natsir dan para tokoh Partai Masyumi itu tak lagi menyambangi Jalan Cendana. "Sempat juga terdengar, ada orang Sekretariat Negara yang menanyakan mengapa para tokoh ini tak lagi datang ke Cendana," kata Ramlan.

"Persentuhan Lebaran" Natsir dan Soeharto ini dikenang oleh orang-orang di sekitar keduanya sebagai momen terdekat hingga mereka meninggal puluhan tahun kemudian. "Memang interaksi keduanya tidak banyak," kata Yusril Ihza Mahendra, yang pernah menjadi penulis naskah pidato Soeharto sekaligus anak buah Natsir.

Saat bekerja di Sekretariat Negara, Yusril mengaku sempat mendengar seseorang mengadu kepada Soeharto bahwa ia dekat dengan Natsir. Soeharto tidak mendepak Yusril karena kedekat-an ini. "Yusril masih muda," ujar Soeharto memberi alasan mempertahankan Yusril. Kisah ini didengar Yusril dari mulut Moer-diono, Menteri-Sekretaris Negara saat itu.

Amien Rais berkisah tentang sisi "bermusuhan" Soeharto dan Natsir. Selama Soeharto berkuasa, tak sekali pun Natsir diundang untuk menghadiri acara kenegaraan, misalnya saat peringatan 17 Agustus. Ini berbeda dengan Soekarno, yang bersebe-rangan dengan Natsir soal komunisme tapi tetap mengun-dangnya ketika peringatan proklamasi. "Bung Karno mau menyalami dan menanyakan kabar Pak Natsir," kata mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat itu.

Suatu hari pada Juli 1981, Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan panggilan Buya Hamka meninggal dunia. Natsir dan Soeharto kebetulan bertemu di rumah duka. Keduanya tak bersalaman atau bertegur sapa. Menurut Ramlan, setelah berdoa di dekat jenazah Hamka, Soeharto beranjak ke sisi lain ruangan yang telah disediakan. "Padahal," kata Ramlan, "saat itu Pak Natsir ada di dekat jenazah."

Kejadian yang sama berulang saat melayat ibu Azwar Anas, Menteri Perhubungan pada masa Soeharto, yang wafat sekitar tahun 1990. Natsir masih berkerabat dengan Azwar lewat tali perkawinan. Presiden Soehar-to dan- sejumlah menteri tiba lebih dulu. Ketika Natsir datang, Menteri Negara Riset dan Teknologi B.J. Habibie yang dikenal sebagai anak emas Soeharto bergegas menyambut Natsir dan memperkenalkan diri.

Namun kehangatan hanya muncul di luar rumah duka. Soeharto sama sekali tak menyapa Natsir. Para menteri pun "mengikuti petunjuk" bosnya: bersikap dingin kepada Natsir. Hanya satu kalimat diucapkan Soeharto kepada tokoh kemerdekaan itu: "Silakan jadi imam, Pak." Menurut Sitti Muchliesah, anak sulung Natsir, itu diucapkan ketika salat jenazah hendak digelar.

Menurut Fauzie, dokumentasi momen unik ketika Natsir menjadi imam Soeharto itu tak pernah muncul di media massa. Ia mengaku sempat meminta salin-an foto kepada beberapa pihak, termasuk Azwar Anas, ternyata gagal. Foto-foto bersejarah itu disita protokoler Istana agar tidak dipublikasikan.

Meski hubungan Natsir dan Soeharto terlihat jauh dari hangat, interaksi anak sulung kedua tokoh ini malah sebaliknya. Sitti Muchliesah atau biasa disapa Lies sempat ikut pengajian di rumah Siti Hardijanti Rukmana pada 1980-an. "Lebih dari setahun," katanya.

Suatu ketika pengajian sedang berlangsung. Soeharto datang ke rumah putri sulungnya itu. Tutut memperkenalkan Lies kepada ayahnya, juga kepada semua tamunya. Pada hari Lebaran, Tutut mengirimi Lies kue kering. Lies membalasnya dengan rendang paru kering. "Kabarnya tidak ada orang lain boleh ikut makan paru yang saya kirim," Lies mengenang sambil tersenyum.

Lies juga ikut berperan ketika Bambang Trihatmodjo, anak kedua Soeharto, menikahi Halimah Agustina Kamil pada Oktober 1981. Lies ketika itu menjadi anggota Yayasan Pembina Pembangunan Sumatera Barat di Jakarta-belakangan berganti na-ma menjadi Yayasan Bunda, yang kerap menangani pesta pernikahan ala Minang.

Sesuai dengan adat Minang, Lies menyiapkan satu setel baju pengantin warna biru untuk Bambang. Ia juga menyediakan topi khas berbentuk tanduk kerbau. "Halimah membelinya dari saya," kata Lies. "Harganya sekitar Rp 250 ribu." Panitia pernikahan dibagi menjadi dua kelompok dan Lies kebagian membantu pengantin pria.

Beberapa saat sebelum keberangkatan rombongan pria ke rumah mempelai perempuan, Lies sempat melihat Soeharto meminta seorang anggota panitia membenahi sarung ala Minang yang dikenakannya. Lipatan sarungnya yang khas agak berubah. Lies masih ingat, "Ada juga yang ketar-ketir ketika itu, anak Natsir kok bisa masuk Cendana?"

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/07/14/LK/mbm.20080714.LK127675.id.html

NATSIR, POLITIKUS INTELEKTUAL

Anwar Ibrahim
Mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia

PERTEMUAN pertama dengan Pak Natsir adalah juga introduksi saya secara intim dengan Indonesia. Perkenalan itu terjadi pada 1967, ketika hubungan diplomatik di antara kedua negara-Indonesia dan Malaysia-pulih setelah mengalami konfrontasi. Sebelum pertemuan itu, saya hanya menghidu Indonesia dari sedikit pengetahuan sejarah melalui novel-novel Abdoel Moeis, Marah Roesli, Hamka, dan lain-lain.

Pada masa konfrontasi, saya terpukau oleh pidato-pidato Soekarno di hari Lebaran melalui Radio Republik Indonesia siaran Medan, yang saya dengar di kampung saya di Pulau Pinang. Ayah saya, yang ketika itu anggota parlemen dari partai pemerintah, ternyata tak senang dengan keasyikan saya ini.

Maka, ketika Himpunan Mahasiswa Islam yang dipimpin Cak Nur menyambut saya dan beberapa pemimpin mahasiswa Malaysia di Indonesia, tak ubahnyalah itu laksana menemui kekasih yang belum pernah ditemui. Rekan-rekan HMI, seperti Fahmi Idris, Mar'ie Muhammad, dan Ekky Syahruddin membawa saya, yang ketika itu baru berumur sekitar 20 tahun, menemui Pak Natsir. Karena saya begitu muda, dan melihat Pak Natsir sebagai mantan perdana menteri, pernah memimpin Masyumi-aliansi partai dan organisasi Islam yang terbesar di dunia-saya lebih banyak mendengar dari berkata-kata.

Apa yang terkesan bagi saya hingga hari ini dari pertemuan yang pertama itu adalah sosok, sikap, dan tingkah beliau yang amat sederhana. Selepas pertemuan dengan Pak Natsir, saya ke Bandung, dan di sana saya dibawa ke sebuah toko buku Van Hoeve yang secara zahirnya kelihatan usang dan berdebu. Toko buku tersebut merupakan penerbit karya-karya besar kajian Indonesia, seperti karya Van Leur, Indonesian Trade and Society, dan karya B. Schrieke, Indonesian Sociological Studies. Di toko itu, dan di atas lantainya yang berdebu, saya menemukan kedua buku tersebut serta dua jilid Capita Selecta, lantas membelinya.

Sejak zaman muda saya memang memberikan perhatian terhadap peran, ide, gagasan, serta ideologi dalam perjuang-an dan gerakan politik. Saya kagum terhadap intelektualitas dan gagasan para filsuf. Melalui Capita Selecta saya tampak sosok intelektual Mohammad Natsir. Melaluinya saya mengenali Henri Pirenne, nama yang kini mungkin kurang dikenal, tapi di masa itu tesisnya mencetuskan polemik besar di universitas-universitas di Eropa dan pengkaji-pengkaji tamadun Barat. Muhammad et Charlemagne, yang ditulis oleh Pirenne, melontarkan gagasan bagaimana Islam menjadi faktor penentu -dalam sejarah Eropa. Ketika itu tesis ini sungguh radikal, tapi sekarang sudah diterima umum di kalangan sarjana bahwa tanpa Islam, tamadun Barat tidak akan menghasilkan renaisans, tradisi rasionalisme, dan humanisme.

Sejak pertemuan pertama itu, setiap ke Jakarta dan mengunjungi Pak Natsir, saya diperkaya oleh imbauan baru berkaitan dengan isu umat Islam, sosial, dan politik mutakhir. Tatkala saya sudah membentuk Angkatan Belia Islam Malaysia, beliau senantiasa mengingatkan saya akan realitas sosial di Malaysia, dengan kehadiran jumlah masyarakat Cina, India, dan lain-lainnya yang substantif. Beliau sangat positif dan senantiasa menggalakkan interaksi serta dialog di antara organisasi Islam dan masyarakat bukan Islam. Sewaktu menjadi Menteri Keuangan, tatkala memacu pertumbuhan ekonomi, saya sering meng-ulangi pesan Mohammad Natsir, jangan kita membangun sambil merobohkan: membangun gedung sambil merobohkan akhlak, membangun industri sambil menindas pekerja, membina prasarana sambil memusnahkan lingkungan.

Pada 2004-2006 saya di Universitas Oxford, Inggris, dan beberapa universitas lainnya di Amerika Serikat, khususnya di Universitas Georgetown. Di universitas ini saya memberikan mata kuliah yang khusus tentang rantau ini, karena selama ini kajian Islam kontemporer hanya bertumpu di Timur Tengah dan negara-negara Arab, tempat resistansi terhadap demokrasi begitu kuat, sehingga muncul persepsi bahwa Islam tidak sejajar ataupun compatible dengan demokrasi.

Saya merasakan pengkaji-pengkaji Islam kontemporer di Barat tidak berlaku adil terhadap Natsir dan perjuangan umat Islam Indonesia umumnya. Sekiranya mereka mengkaji pemikiran Natsir dan Gerakan Masyumi serta sejarah "demokrasi konstitusional" di Indonesia sebelum dihancurkan oleh Orde Lama, persoalan compatibility atau kesejajaran Islam dan demokrasi itu tidak akan timbul. Satu-satunya sarjana Barat yang berlaku adil terhadap Natsir dan Masyumi sebagai pelopor constitutional democracy di dunia membangun selepas Perang Dunia Kedua ialah sarjana besar Herbert Feith, yang magnum opus-nya berjudul The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia.

Namun saya tidak melihat Pak Natsir sebagai demokrat yang terisolasi. Beliau berada di dalam tradisi Islam Indonesia yang inklusif, dari tokoh seperti Oemar Said Co-kroaminoto, Agus Salim, dan Wahid Hasyim. Di negara Arab kita menyaksikan pembenturan yang tajam antara tokoh-tokoh sekularis dan tokoh-tokoh islamis, antara Taha Hussain dan penghujah-penghujahnya dari Universitas Al-Azhar. Di Indonesia saya tidak menyaksikan pertembungan yang sebegini antara Sutan Takdir Alisjahbana yang memiliki orientasi yang hampir sama dengan Taha Hussain dan tokoh-tokoh Islam.

Negosiasi kreatif antara intelektual sekuler tapi tidak bermusuhan dengan Islam, dengan intelektual muslim yang ditampilkan oleh Natsir, amat bermakna bagi generasi muda muslim di Malaysia. Di Kuala Lumpur hari ini terdapat anak-anak muda yang mengunyah Polemik Kebudayaan, tapi mereka juga sebahagian dari gerakan Islam yang meneliti Capita Selecta. Debat Natsir-Soekarno tentang negara Islam dan sekularisme juga menarik bagi mereka dan mereka kira masih relevan dalam negosiasi Islam serta ruang awam di Malaysia.

Tapi tulisan Natsir yang paling tersebar luas di Malaysia- ialah Fiqud Dakwah. Saya selaku Presiden ABIM ketika itu mencetaknya, termasuk menerbitkannya ke dalam edisi- Jawi dan menjadikannya teks usrah ataupun grup studi ka-mi.- Saya begitu terkesan oleh buku ini karena metode dak-wahnya bersifat moderat dan berhikmah. Melalui metode ini, ABIM dapat melebarkan sayapnya hingga menjadi orga-nisasi massa dan gerakan Islam yang bergaris sederhana.

Pada awal 1980-an, ketika saya sedang menjabat Menteri Kebudayaan, Belia dan Sukan, saya berkunjung ke Indonesia. Saya ingin menemui Pak Natsir di kediamannya, tapi beliau lebih dulu menemui saya di hotel. Saya sangat terharu karena sikapnya yang merendah, sedangkan dia merupakan pemikir Islam besar. Maka saya mengundang beliau ke kamar untuk bersarapan pagi.

Natsir sedang menghadapi tekanan dari pemerintah, karena dia terlibat dengan Petisi 50. Ternyata pertemuan itu menimbulkan keributan di kalangan intel Orde Baru. Maka, ketika saya menemui Pak Harto, saya jelaskan bahwa Pak Natsir ibarat bapak saya di Indonesia dan bahwa pertemuan kami hanya mengobrol secara umum tentang umat Islam di Pakistan dan Arab Saudi. Pak Harto hanya diam mendengar penjelasan saya.

Terakhir kali saya selaku Timbalan Perdana Menteri menemui Pak Natsir di hospital ketika beliau sedang tenat. Suasana memilukan dan menyayat hati, saya sedih melihat keadaan hospital, dan saya merasakan layanan sebegini tidak layak untuk seorang pemikir Islam besar. Saya rasa wajar beliau mendapat layanan yang lebih baik. Beberapa bulan kemudian, saya mendapat berita beliau telah berpulang ke rahmatullah. Beliau sudah pergi, tapi legasinya masih menanti apresiasi yang adil dari luar rantau ini.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/07/14/LK/mbm.20080714.LK127676.id.html

BERPETISI TANPA CACI MAKI

UDARA sejuk Turki di akhir April 1980 tak sanggup mendi-nginkan pikiran Mohammad Natsir. Presiden Liga Musim Sedunia yang sedang memimpin sidang membahas konflik etnis Yunani dan Turki di Siprus ini mendadak jatuh sakit. Dokter tak menemukan gejala mencurigakan di tubuh laki-laki 72 tahun itu.

Rupanya Natsir memikirkan politik di dalam negeri. "Pikiran saya terganggu oleh pidato Soeharto," kata Natsir setiba di Jakarta, seperti diceritakan Andi Mappatehang Fatwa kepada Tempo akhir Juni lalu.

Pidato yang merisaukan Natsir adalah ceramah tambahan Pre-siden Soeharto tanpa teks di muka Rapat Pimpinan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia di Pekanbaru, Riau, 27 Maret 1980. Soe-harto berbicara tentang asas tung-gal Pancasila yang, menurut dia, di masa lalu dirongrong oleh ideologi-ideologi lain dan partai politik.

Soeharto meminta ABRI mendukung Golkar dalam pemilihan umum. Tahun 1980 adalah puncak perseteruan dua faksi di tubuh ABRI. Satu kelompok-yang menikmati kekuasaan dengan memangku pelbagai jabatan publik-mendukung Soeharto, kelompok lain menentang gagasan ini dan menginginkan ABRI netral.

Tiga pekan kemudian, 16 April 1980, Soeharto menegaskan kembali seruannya di Markas ABRI Cijantung, Jakarta Timur. Ucapan Soeharto yang terkenal: "Lebih baik kami culik satu dari dua pertiga anggota MPR yang akan melakukan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 agar tidak terjadi kuorum." Satu kalimat lain yang menunjukkan sikapnya sebagai otokrat: "Yang mengkritik saya berarti mengkritik Pancasila."

Selain itu, sekelompok jenderal purnawirawan gundah. Bekas pemimpin ABRI yang tergabung dalam Forum Studi dan Komunikasi Angkatan Darat lalu berkumpul di gedung Granadi di kawasan Semanggi. Mereka mengundang tokoh dan aktivis sipil untuk membahas pidato itu. A.M. Fatwa ikut hadir. Ketika itu dia pegawai kantor pemerintah daerah Jakarta yang dipecat karena sering berdakwah mengkritik pemerintah.

Pertemuan 5 Mei 1980 itu menyimpulkan: Soeharto perlu di-tanya soal isi pidatonya. A.M. Fatwa bersama aktivis muda lain lalu bergerilya mengumpulkan tanda tangan sejumlah tokoh untuk mendukung enam butir "Pernyataan Keprihatinan". Yang menyusun adalah Slamet Bratana--ta, Menteri Pertambangan kabinet pertama Orde Baru.

Pucuk dicita ulam tiba, Natsir langsung teken ketika disodori pernyataan itu. Fatwa berhasil mengumpulkan 50 tanda tangan tokoh tentara, polisi, anggota parlemen, dosen, birokrat, bekas pejabat, pengusaha, dan aktivis. Supaya konstitusional, yang bertanya kepada Soeharto semestinya Dewan Perwakilan Rakyat. Media massa waktu itu dilarang menyiarkan suara kelompok oposisi. Maka berduyunlah 30 dari 50 orang penanda tangan itu ke Senayan, 13 Mei 1980.

Natsir didaulat menyampaikan maksud mereka menyambangi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daryatmo. Chris Siner Key Timu, bekas Pembantu Rektor III Universitas Atma Jaya, Jakarta, mengisahkan kembali pidato mantan perdana menteri Natsir yang dianggapnya sangat bijak. "Bagi seorang presiden, pidato lisan atau tertulis sama nilainya di mata masyarakat. Kami ingin bertanya apa maksud pidato itu."

Pernyataan itu menuai reaksi keras pemerintah. Soeharto menjawabnya lewat surat ke Dewan tanggal 1 Juni. Ali Moertopo, Komandan Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, menganggap pernyataan itu menyinggung pemerintah karena menyi-ratkan usul pergantian pemimpin nasional.

Dari Ali Moertopo jugalah nama "Petisi 50" berasal. Padahal para tokoh yang prihatin itu membuat pernyataan atas nama Lembaga Kesadaran Berkonstitusi-sebuah forum yang didirikan pada 1978 oleh A.H. Nasution dan Muhammad Hatta. Barangkali karena lebih singkat dan gampang diingat, nama Petisi 50 lebih dikenal publik sampai sekarang.

Petisi 50 dianggap "musuh utama" pemerintah Soeharto. Para tokohnya menjalani hidup yang sulit. Bisnis keluarga mereka kocar-kacir karena tak bisa mendapatkan kredit bank. Bahkan beredar kabar Soeharto ingin mengirim mereka ke Pulau Buru-pulau di Maluku yang menjadi gulag tahanan politik pengikut Partai Komunis Indonesia. Namun rencana itu konon digagalkan Jenderal M. Jusuf, Panglima ABRI yang menentang tentara berpolitik. "Sewaktu dimintai konfirmasi, Pak Jusuf tak menyangkal," kata Chris Siner, laki-laki asal Flores kelahiran 1939.

Karena dianggap menyeret-nyeret Natsir dalam Petisi, A.M. Fatwa dikecam aktivis Himpunan Mahasiswa Islam dan pengikut Masyumi-partai Natsir yang dibubarkan Soekarno. "Aktivis HMI sudah banyak yang menjadi pejabat. Mereka merasa terancam dengan Petisi itu," kata Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat yang kini 69 tahun itu.

Penanda tangan Petisi 50 juga terkena cekal. Natsir, pemimpin sejumlah organisasi muslim dunia, batal menghadiri pelbagai konferensi di negara-negara lain. Ia sudah biasa dengan perlakuan buruk pemerintah. Ia pernah bentrok dengan Soekarno soal ga-gasan Nasakom. Sewaktu pengumuman cekal pemerintah Soeharto diumumkan, Natsir hanya berujar, "Mungkin karena sudah tua, mereka takut saya nyasar."

Sikap Natsir yang sebenarnya ia tuliskan dalam buku Indonesia di Persimpangan Jalan (1984). Tindakan itu, tulisnya: suatu kebiasaan yang kita temui dalam sistem diktator atau feodal abad pertengahan. Itu puncak kegusaran Natsir yang dikenal lemah lembut. Semua orang dekatnya bersaksi Natsir tak pernah menggunjing atau memaki orang lain.

Meski dicekal dan rumah-rumah mereka diawasi intel, anggota Petisi 50 tak surut. Mereka rutin bertemu setiap Selasa sore di rumah Ali Sadikin, bekas Gubernur Jakarta yang menjadi motor kelompok ini. "Meski tak rutin, Pak Natsir sering datang," kata Fatwa. "Dia juga menjadi donatur Petisi."

Pertemuan rutin itu berlangsung lebih dari 20 tahun. Setiap Selasa mereka berdiskusi dan bertukar gagasan tentang soal-soal kenegaraan atau membahas situasi politik. Setiap 17 Agustus pada peringatan kemerdekaan, Petisi mengeluarkan maklumat atau memorandum yang isinya mengkritik kebijakan-kebijakan ekonomi-politik Orde Baru.

Petisi, menurut Chris, menjadi tempat pertemuan kembali para tokoh pendiri bangsa. Padahal sekali waktu Ali Sadikin pernah marah besar kepada Natsir karena menentang kebijakannya melegalkan judi dan melokalisasi pelacur di Kramat Tunggak. "Kalau Pak Natsir ke luar rumah harus pakai helikopter, karena jalan Jakarta saya bangun dari uang judi," ujar Ali Sadikin. Natsir tak bereaksi.

Chris dan Fatwa mengenang, Natsir adalah seorang demokrat sampai ke tulang sumsum. Suatu kali dalam diskusi, Sjafroeddin Prawiranegara berkata, dalam de-mokrasi, paham komunis se-kalipun tak bisa dilarang. Reaksi Natsir, diceritakan Chris Siner, "Kalau komunisme tidak baik, kita hadang paham itu lewat pemilu."

Meski ia ulama zuhud, pendiri partai Islam terbesar pada 1950, Chris tak pernah mendengar Natsir mendesakkan pandangannya tentang Islam. Sekali Natsir berkata kepada Chris yang Katolik, "Bagi saya nilai-nilai Islam itu inspirasi. Akan saya perjuangkan nilai-nilai itu secara demokratis."

Satu warisan Natsir yang terkenal, yang lahir manakala diskusi Petisi 50 berlangsung panas dan runcing: kita sepakat untuk tidak sepakat.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/07/14/LK/mbm.20080714.LK127677.id.html

GENERATOR LAPANGAN BAWAH

*

Azan magrib bersenandung di ujung hi-ruk-pikuk Tanah Abang, Jakarta. Kios dan toko di jan-tung dagang itu baru saja me-ngunci pintu. Seruan muazin tersiar dari pengeras suara Masjid Al-Munawwarah, Jalan Kampung Bali I, Rabu dua pekan lalu. Masjid 20 x 15 meter ini berjarak seratus meter dari pusat niaga. Likuran pria segera membangun dua saf salat.

Pada gang empat meter, masjid dua lantai itu menyimpan titik penting perjalanan sejarah Mohammad Natsir. Di sini, 41 tahun lalu, persisnya 27 Februari 1967, Natsir mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia. Lembaga penyeru akidah dan nilai Islam ini tercatat dalam Akta Notaris Syahrim Abdul Manan Nomor 4, tanggal 9 Mei 1967. Sejumlah tokoh Masyumi punya andil.

Mereka bekas Menteri Agama H M. Rasjidi, bekas Menteri Luar Negeri Mohammad Roem, dan bekas Presiden Pemerintah-an Darurat Republik Indonesia-Gubernur Bank Sentral Sjafroe-din Prawiranegara. Ada bekas perdana menteri Burhanuddin Ha-rahap; Kasman Singodime-djo; Osman Raliby; Yunan Nasution; dan bekas Duta Besar untuk Irak, Datuk Palimo Kayo. "Di Dewan Dakwah Pak Natsir berpolitik melalui dakwah," kata Ketua Umum Dewan Dakwah Syuhada Bahri, 54 tahun.

Sebelumnya, kata Syuhada, sa-at memimpin Masyumi, Natsir berdakwah di medan politik. Dewan Dakwah lahir tujuh bulan setelah Natsir keluar dari penjara di Jalan Keagungan, Jakarta, akibat Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta. Keterlibatan Natsir dalam "pemberontakan" ini mendorong Presiden Soekarno memberangus Masyumi pada 1960. Januari 1967, bekas petinggi Masyumi meminta Orde Baru merehabilitasi partai ber-asas Islam ini. Tapi Soeharto menolak.

Menurut Yusril Ihza Mahen-dra, penulis disertasi yang membandingkan Masyumi dengan Jamaat al-Islami Pakistan, Dewan Dakwah lahir untuk melanjutkan napas hidup dakwah. Saat mendirikan Masyumi pada 1945, Natsir memang mendedikasikan partai untuk Islam. Jadi, kata dia, meski Masyumi tidak lagi ada, Natsir tetap berdakwah.

Ada pendapat yang menyebut Dewan Dakwah lahir karena Nat-sir ingin membendung giatnya penyebaran agama selain Islam, ter-utama Kristen. Yusril menye-but, saat itu, organisasi Islam yang lahir lebih dulu kurang peduli terhadap soal ini. Tapi Amien Rais, bekas Ketua Umum Peng-urus Pusat Muhammadiyah yang dekat -de-ngan Natsir, menyatakan tak setuju atas persepsi ini. "Saya ki-ra bukan karena Kristen," katanya.

Bagi Amien, dakwah sudah mendarah daging dalam tubuh Natsir. Penyebaran Kristen tak men-jadi faktor penting, meski sikap keras Natsir terhadap Gereja tampak menjelang kedatang-an Paus Yohanes Paulus II ke Indonesia Pada 1989. Ia bersama Ra-sjidi, KH Masjkur, dan KH Rusli Abdul Wahid mengirim surat ke Vatikan. Isinya, meminta Paus tidak menyalahgunakan diakonia, pelayanan masyarakat, untuk mengkristenkan orang. Pada 1976 pemimpin Islam, Katolik, dan Kristen dalam konferensi internasional tentang misi Kristen serta dakwah Islam di Chambessy, Swiss, sepakat untuk tidak saling memurtadkan.

Di Munawwarah, tokoh Ma-s-yumi itu membuat daftar masalah dakwah Islam. Salah satunya, perlu membangun sistem, mutu, dan teknik dakwah Islam. Mereka merumuskan program kerja melatih mubalig (penceramah agama) dan calon mubalig. Dewan Dakwah juga membuat riset penyokong dakwah. Aneka buku, majalah, dan brosur dicetak untuk membekali juru dakwah ilmu keagamaan serta ilmu pengetahuan umum.

Dewan Dakwah membangun strategi dakwah di semua lini, termasuk sekolah, kampus, pesantren, dan daerah terpencil di Indonesia. Natsir ingin Dewan Dakwah menggarap lapangan dakwah yang tidak dikerjakan Nah-dlatul Ulama, Muhammadi-yah, dan Persatuan Islam. Menu-rut- -Sy-uhada, Dewan Dakwah jus-tru untuk mendukung organisasi Islam itu. "Kami ibarat generator di belakang rumah, tapi cahayanya menerangi semua -ruang," katanya.

Natsir melihat, Indonesia awal Orde Baru masuk fase dijauhkannya masyarakat dari urusan ideologi dan politik. Natsir dan kalangan Dewan Dakwah cemas akan sekularisasi yang menggila. Ini merujuk pada Nurcholish Madjid, yang mengusung pembaruan Islam berkredo "Islam yes, partai politik Islam no". Buku Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam, dan buku tulisan bekas Rektor Institut Agama Islam Negeri Jakarta Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, dianggap turut menyuburkan sekularisasi.

Di panggung dunia, Natsir bukan orang kemarin sore. Pada 1957 ia pernah memimpin sidang Muktamar Alam Islami atau Kongres Islam Dunia di Damaskus, Suriah. Nama Natsir kian moncer di forum dunia Islam setelah mendirikan Dewan Dakwah. Pada 1967 ia wakil Presiden Muktamar Alam Islami yang bermarkas di Karachi, Pakistan. Pada 1969 Natsir menjadi anggota World Muslim League, Mekkah, Arab Saudi.

Tiga tahun kemudian Natsir menjadi anggota Majlis A'la al-Alam lil Masajid (Dewan Masjid Sedunia), berpusat di Mekkah. Pada 1980 dia menerima penghargaan dari Raja Faisal dari Arab Saudi karena berjasa pada Islam. Pada 1985 menjadi anggota Dewan Pendiri The International Islamic Charitable Foundation, Kuwait. Setahun berikutnya Natsir menjadi anggota Dewan Pendiri The Oxford Centre for Islamic Studies, London, Inggris, dan anggota majelis Umana' International Islamic, University, Islamabad, Pakistan.

Natsir berkantor di Dewan Dakwah, yang semula ruang bersekat kayu lapis lantai dua Munawwarah. Pada 1973, kata -Syuhada, Dewan Dakwah pindah ke Jalan Kramat Raya 45, Jakarta. Setahun kemudian pindah ke Jalan Diponegoro 42, rumah Rasjidi. Saat itu, Rasjidi Direktur Kantor Rabithah Alam Islami di Jakarta. Satu setengah tahun kemudian, Natsir memindahkan Dewan Dakwah kembali ke Kramat Raya. Di sana, kini berdiri gedung Dewan Dakwah berlantai delapan dan Masjid Al-Furqon.

Anwar Ibrahim, saat mendu-duki posisi Menteri Pertanian dan Menteri Pendidikan Malaysia pada 1980-an, kerap bertandang ke rumah Natsir di Jalan Cokroaminoto 45, Jakarta, tanpa protokoler. Tapi Yusril Ihza Mahendra, saat masih mahasiswa Hukum Universitas Indonesia, ada-lah orang yang dididik lang-sung oleh Natsir. Mereka aktif di Lem-baga Islam untuk Penelitian dan Pengembangan Masyarakat di Cikini.

Di kantornya di Kramat Raya, tamu Natsir tak berhenti meng-alir. Syuhada, yang lima tahun seruangan dengan Natsir -sejak 1976, mengisahkan tamu datang dari berbagai penjuru Indonesia, mulai pagi hingga petang. Ke-pentingannya, mulai urusan sekolah, dakwah, permohonan -bantuan, hingga konsultasi masalah perkawinan. "Tak sedikit orang dari jauh bertamu sekadar minta nama untuk anaknya," ujar Syu-hada.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/07/14/LK/mbm.20080714.LK127678.id.html

ABA, CAHAYA KELUARGA

"Orang yang pakai jilbab itu adalah sebaik-baiknya muslimah. Tapi yang tidak pakai jilbab jangan dibilang enggak baik."

Pernyataan itu datang dari Mohammad Natsir. Pejuang Islam yang gigih itu menyampaikan pandangannya tentang jilbab kepada sejumlah pelajar yang datang ke kantor Dewan Dakwah pada awal 1980-an. Ketika itu pemerintah melarang murid mengenakan jilbab di sekolah. Sejumlah pelajar menentang aturan itu dan berujung ke pengadilan. Yusril Ihza Mahendra, bekas Menteri Sekretariat Negara, yang dijuluki Natsir Muda, menjadi pembelanya.

"Mereka berkeras soal jilbab. Kalau tidak berjilbab dianggap tidak baik," Yusril berkisah kepada Tempo. Natsir pun menegur para pelajar yang dinilainya cenderung meremehkan orang Islam tak berjilbab. "Saya tidak melihat manusia dari jilbab," kata Natsir seperti dituturkan Yusril.

Natsir, sang pejuang. Dia dikenal sebagai pendidik yang keras, tapi moderat dan demokratis dalam menerapkan ajaran Islam. Dia tidak mewajibkan jilbab kepada istri dan anak-anaknya. Nurnahar, istri Natsir, seperti laiknya orang Melayu dan umumnya warga Masyumi. Sehari-hari dia tampil berkebaya panjang atau baju kurung tanpa kerudung. Ketika menghadiri acara keluarga atau melayat, Natsir baru mengingatkan Nurnahar agar berkerudung.

Mengingatkan pun, menurut Sitti Muchliesah atau Lies, putri sulung Natsir, tidak dalam bentuk perintah. Aba, panggilan anak-anak kepada ayahnya, cukup berkata, "Kamu kan mu-slimah." Kalimat pendek ini langsung dipahami keempat anak perempuan Natsir.

Dalam berpakaian, Natsir- hanya mengharuskan anak-anaknya berbusana santun. Itu artinya, tidak bercelana pendek dan berbaju you can see alias baju tak berlengan. Satu kali, Lies mengenakan blus pendek tanpa le-ngan. Aba tak menegur langsung. Dia hanya berpesan kepada Ummie, panggilan istrinya, "Beri tahu Lies jangan pakai yang kependekan."

Masih soal pakaian, ada ke-nangan yang berkesan bagi Anies, putri Lies, cucu pertama Natsir. Satu kali, sepulang kuliah, Anies mampir ke rumah kakeknya di Jalan Cokroaminoto. Dia datang mengenakan rok mini yang sedang jadi mode. Tatkala hendak pulang, Natsir memberinya uang sambil berkata, "Ini untuk beli celana panjang." Tegur-an halus.

Sekalipun keempat putrinya telah menunaikan ibadah haji, Natsir tak memaksa mereka mengenakan jilbab. "Menurut Aba, berjilbab itu harus dari diri kita," tutur Lies, yang kini berusia 72 tahun.

Natsir juga tidak melarang keluarganya bergaul dengan non-muslim. Bergaul dengan teman-teman lelaki pun diizinkan sang ayah. "Kami boleh nonton bioskop asal rame-rame, paling telat pulang pukul 10 malam."

Dalam salah satu surat kepada anak-istrinya, Natsir mendorong kelima anaknya aktif di organisasi kepemudaan. Misalnya Himpunan Muslim Indonesia atau Pandu Islam. Organisasi, menurut dia, dapat menjadi taman pendidikan yang meleng-kapi apa yang tidak didapat di sekolah. "Aktif berorganisasi akan memberi bekal masa depan," begitu pesan Aba dalam surat yang dia tulis tepat pada usianya yang ke-50, 17 Juli 1958.

Sikap demokratis Natsir tampak jelas di meja makan. Dia mengizinkan anak-anaknya berdebat apa saja, meskipun kadang Ummie tidak berkenan karena perdebatan mengganggu suasana makan. "Aba suka tersenyum menyimak perdebatan kami," kata Lies. Suasana seperti ini tanpa disadari telah membentuk dan mempengaruhi cara berpikir kelima anak Natsir. "Khususnya menghadapi tantangan hidup," Lies melanjutkan.

Pada masa penjajahan Jepang, sekolah Pendidikan Islam (Pendis) yang didirikan Natsir di Bandung ditutup. Dia lalu membentuk madrasah di rumah adik iparnya di Jakarta. Selain anak-anaknya, masyarakat di sekitar madrasah ikut serta menjadi murid. Natsir juga mengajak teman-temannya menjadi ustad dan ustadzah. "Setiap sore kami mengaji dan belajar tentang Islam," kata Lies, yang dikaruniai tiga putra-putri.

Bagi Natsir, pesantren atau madrasah bukanlah satu-satu-nya sistem pendidikan yang bisa menghasilkan orang ber-iman. Pesantren, menurut Natsir, dapat menelurkan orang ber-akhlak- tetapi buta terhadap perkembangan dunia. Padahal, Islam mendorong umat mencapai kema-juan lahir batin, dunia dan akhirat.

Itu sebabnya dia tidak melarang anak-anaknya aktif berkesenian. Lies diizinkan mengikuti pementasan sandiwara di sekolahnya, SMA 1 Boedi Oetomo. Entah kenapa, ketika sandiwara yang disutradarai Koen-tjoroningrat itu hendak diper-tunjukkan untuk umum di Gedung Kesenian Jakarta, Aba melarang Lies ikut serta. "Saya kecewa tapi berusaha memahami keputusan Aba," tutur Lies, yang bersuamikan Agus Alwi yang juga berasal dari Minang, Sumatera Barat.

Di mata anak-anaknya, ia selalu menyampaikan pesan secara tersirat. Dia juga orang yang berpikiran jauh ke depan. Sewaktu tinggal di Jakarta, Aba melarang anak-anaknya belajar berenang. "Kami memahami, pakaian renang selalu minim," kata Lies. Tapi, ketika tinggal di Maninjau, Sumatera Barat, Aba menyuruh anak-anak belajar berenang di danau. "Belakangan kami mengerti, di danau kami sekaligus belajar menghadapi bahaya yang tidak akan ditemui di kolam renang," kata Aisyahtul Asriah, putri keempat Natsir.

Natsir, sang pendidik. Dia tak begitu setuju anak-anaknya bekerja di perusahaan milik negara maupun swasta. Natsir lebih suka anak-anaknya menggeluti dunia pendidikan. Toh, dia tak bisa berbuat banyak ketika Hasnah Faizah, putri ketiganya, berganti haluan dari asisten dosen di Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Indonesia, menjadi staf sebuah badan usaha milik negara.

Di kemudian hari, keluarga paham mengapa Natsir tak begitu suka anak-anaknya bekerja di perusahaan. "Aba khawatir, sifat kami berubah karena bekerja di perusahaan yang mengutamakan keuntungan," kata Aisyah. Menurut Aba, hal itu bisa mempengaruhi hubungan di rumah. Waktu bersama keluarga menjadi berkurang. Padahal, bagi Aba, Aisyah mengenang, makan sebaiknya bersama keluarga setidaknya sekali dalam sehari.

Sebagai Vice President World Muslim Congress, yang bermarkas di Karachi, Pakistan, dan anggota Majelis Ta'sisi Rabithah Alam Islami, yang berpusat di Mekkah, Natsir bisa berangkat haji setiap tahun. Tapi tak sekali pun dia memanfaatkan fasilitas tersebut untuk memberangkatkan anak-anaknya berhaji. "Fasilitas itu hanya untuk meng-ajak Ummie sekali," papar Abi-sebutan akrab Aisyah. Walhasil, kelima anaknya berhaji dengan biaya sendiri.

Selama menjadi pejabat pemerintah, hampir tak ada kemewahan yang dinikmati anak dan istrinya. Rumah pribadi pun baru dimiliki setelah Natsir bebas dari penjara pada 1967, jauh setelah penggemar biola ini tak lagi berpangkat.

Suatu ketika Fauzi, anak bungsu Natsir, meminta dibe-likan sepeda motor kepada Aba. Sang ayah menolak dengan berkata, "Memangnya tidak ada bus atau kereta api?" Natsir amat mempedulikan pendidikan. Beberapa kali Lies meminta bantuan ayahnya untuk membayar biaya kuliah anak-anaknya. "Tanpa ragu Aba turun tangan," tutur Lies.

Natsir juga membebaskan putra-putrinya memilih jurusan sekolah dan tempat bekerja. Lies, misalnya, memasuki Jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia. Karena banyak faktor, termasuk biaya dan kondisi politik yang belum aman, Lies harus meninggalkan bangku kuliah di semester kedua.

Natsir memutuskan, Lies dan adiknya, Asma Faridah, sebaiknya konsentrasi saja pada urusan rumah tangga. Tapi adik-adik Lies, yakni Aisyah, Hasnah, dan si bungsu Ahmad Fauzi Natsir, menyelesaikan kuliah.

Selain Fauzi, ada lagi satu anak lelaki Natsir, yakni Abu Hanifah, yang meninggal pada usia 13 tahun karena tenggelam di kolam renang. "Aba menangis sendirian ketika Hanif wafat. Sebelum pergi, almarhum sempat memijat-mijat kaki Aba," kata Lies. Sebuah buku memoar berjudul Aba Sebagai Cahaya Keluarga kini sedang disiapkan Lies.

Tangisan itu berulang ketika Natsir kehilangan sang istri. Nurnahar meninggal pada Juli 1991, dalam usia 86. Lima puluh tujuh tahun, Ummie mendampingi Aba dengan setia.

Dalam salah satu suratnya, Natsir menulis: Ummie sadar jalan hidup yang Aba tempuh sama sekali tidak memberi jaminan hasil yang tetap. Tapi Ummie rela dan berani naik perahu Aba yang oleng itu, sama-sama menempuh samudera hidup yang penuh risiko. Tak terlukiskan betapa bersyukurnya Aba kepada Allah SWT dan terima kasih kepada Ummie atas kebahagiaan hidup yang Aba rasakan."

Sebelum jenazah sang istri diberangkatkan ke makam, Natsir sendiri yang menyampaikan pidato pelepasan. Dua tahun kemudian, Natsir dimakamkan di samping makam Nurnahar. Kata Lies, "Seperti keinginan Aba."

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/07/14/LK/mbm.20080714.LK127679.id.html

SEMUA BERMULA DI JALAN LENGKONG

Jika tembok di bengkel di Jalan Lengkong Besar Nomor 16, Bandung, bisa bica-ra, sungguh banyak kisah ten-tang Natsir dan kegeli-sah-annya. Tembok-tembok itu akan- lebih fasih bertutur-daripada para pemiliknya sekarang-bahwa nun pada 1931, bengkel mobil yang dulu sebuah rumah milik Haji Yunus yang disewa Mohammad Natsir tersebut adalah sebuah tempat lahirnya Pendidikan Islam (Pendis).

Tembok-tembok nun di Jalan- Lengkong Nomor 74 juga bisa bercerita-dengan keahlian bu-ku sejarah, karena kini tak ada lagi yang tahu-bahwa alamat ini adalah tempat tinggal Natsir bersama istrinya yang sekaligus memperlakukan rumah itu sebagai sekolah.

Bukan hanya warga Bandung, melainkan sebagian besar masyarakat Indonesia tak mengenal Natsir dan perhatiannya terhadap pendidikan Islam. Padahal Natsir adalah salah satu penggagas lahirnya perguruan tinggi swasta Islam yang pertama di Indonesia. Syahdan di Bogor pada 17 Juni 1934, Natsir menyampaikan pidatonya dalam rapat kaum muslim. Maju atau mundurnya salah satu kaum, kata Natsir seperti yang termuat dalam kum-pulan tulisan pemikirannya, Capita Selecta Jilid I, bergantung sebagian besar kepada pelajaran dan pendidikan yang berlaku dalam kalangan mereka itu. Ketika usianya masih 26 tahun, Natsir sudah memikirkan bagaimana harus memajukan bangsanya: lewat pendidikan.

Sistem pendidikan ala Barat juga menjadi keprihatinannya yang lain. Menurut Natsir, pendidikan Barat yang diberikan pada masa penjajahan Belanda semata-mata untuk mengisi otak. Natsir menilai jiwa murid tetap saja kosong. Sementara itu, pendidikan di pondok pesantren dan madrasah memang bisa menghasilkan orang-orang yang ber-iman serta berakhlak baik, tapi sayangnya mereka buta terhadap perkembangan dunia.

Kegelisahan inilah yang menyebabkan Natsir nekat mendirikan perguruan Pendis. Keprihatinannya terhadap kondisi dunia pendidikan kala itu yang dianggapnya kurang lengkap serta persoalan jumlah sekolah yang tak memadai dan ditambah lagi banyaknya anak yang tak punya kesempatan belajar membuat Natsir bersemangat terjun dalam dunia pendidikan. Tentu saja karena modalnya sangat minim, Pendis pada masa kelahirannya lebih mirip tempat kursus yang terdiri atas murid-murid yang terbatas.

Secara perlahan jumlah murid- bertambah dan mendapat sun-tikan dana dari Muhammad Yunus, tempat kursus itu pun berubah menjadi sekolah yang memadukan sistem pendidikan ala Barat dan Islam. Semua mata pelajaran yang ada di sekolah versi pemerintah Belanda juga diajarkan di Pendis. Selain itu, Pendis tetap menyelenggarakan pela-jar-an kesenian, menyanyi. Sekali setahun Pendis menyelenggarakan acara sandiwara, musik, dan tari-tarian. Sandiwara Pendis waktu itu sangat terkenal di Kota Bandung. Perbedaan Pendis dengan sekolah peninggalan Belanda hanyalah mata pelajaran agama Islam yang menjadi pelajaran wajib serta salat Jumat dilakukan bersama-sama di sekolah. Inilah konsep yang selalu didengungkan Natsir bahwa pendidikan harus integral, bersatu padu, di antara elemen-elemen yang bisa menjadikan manusia sebagai sosok yang lengkap.

Lulusan sekolah guru dan se-tingkat sekolah menengah pertama Pendis waktu itu, seperti termuat pada buku Mohammad Natsir: 70 Tahun Kenang-kenang-an Kehidupan dan Perjuangan yang disusun Yusuf Abdullah Puar, banyak mengajar di sekolah-sekolah swasta Muhamma-diyah. Ada juga alumni Pendis yang mendirikan HIS Pendis di kota-kota lainnya di luar Bandung. Meski saat sekolah yang dibangunnya sedang tak ada dana, Natsir terpaksa harus tega menggadaikan gelang emas istrinya, Nurnahar. Gelang itu akan ditebus kembali setelah punya uang. Nurnahar adalah guru taman kanak-kanak di Pendis dan setelah menikah dengan Natsir pada 1934 lebih dikenal dengan sebutan Ummi.

Dari Pendis, berkembanglah- pe-mikiran dan gagasan Natsir berikutnya. Lahirlah sekolah-sekolah yang lain, seperti Universitas Islam Indonesia; Universitas Islam Bandung; Universitas Islam Sumatera Utara, Medan; dan Universitas Muslimin Indonesia Makassar.

Universitas Islam lahir dari pemikiran tokoh-tokoh pergerakan sebelum Indonesia merdeka. Waktu itu Indonesia yang masih dijajah Belanda hanya memiliki dua perguruan tinggi negeri: Universitas Indonesia dan Bandung Technische Hooge School, embrio Institut Teknologi Bandung, yang pendiriannya dimotori pemerintah Belanda. Satu lagi, Institut Pertanian Bogor masih menjadi bagian dari Universitas Indonesia. Belum ada satu pun sekolah atau perguruan tinggi swasta yang didirikan oleh orang-orang pribumi muslim. Setelah Jepang masuk pada 1942, pada 19 April 1945 dibentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Junbi Cosakai). Lembaga ini dibentuk pemerintah Jepang sebagai janji untuk memerdekakan Indonesia.

Setelah BPUPKI terbentuk, Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Ahmad Mas'oed Lutfie menjelaskan para tokoh pergerakan kemerdekaan, seperti Mohammad Hatta, waktu itu berpikir untuk membuat sekolah. "Mereka berpikir, masak nanti Indonesia sudah merdeka tapi tidak mempunyai tempat untuk melahirkan calon-calon penerus bangsa," katanya.

Waktu itu sekolah memang masih sangat kurang. Jadi, menurut Lutfie yang juga menjabat Ketua Badan Pembina Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar, tokoh-tokoh pendiri negara ini sudah memikirkan visi jauh ke depan bagaimana meningkatkan kualitas sumber daya manusia lewat pendidikan.

Rencana pendirian Sekolah Ting-gi Islam pun dimatangkan dengan dibentuknya panitia yang diketuai sendiri oleh Hatta. Nat-sir, yang sudah memiliki pengalaman ketika memimpin perguruan Pendis selama 1932-1942, ditarik Hatta ke Jakarta. Natsir duduk dalam susunan peng-urusan Badan Wakaf pendirian Sekolah Tinggi Islam sekaligus menjadi Sekretaris Dewan Peng-urus dan anggota Dewan Kurator. Pada 8 Juli 1945 berdirilah perguruan tinggi ini di Jakarta, sehingga perguruan tinggi ini -lahir sebelum Hari Kemerdeka--an 17 Agustus.

Namun, karena situasi genting, kata Rektor Universitas Islam Indonesia Edy Suandi Hamid, pemerintah memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta pada 1946. Sekolah Tinggi Islam pun ikut pindah ke Yogyakarta dan dibuka kembali. Setahun kemudian, sekolah ini berganti nama menjadi University Islam Indonesia dan pada 1963 berubah lagi menjadi Universitas Islam Indonesia.

Saat pertama kali didirikan,- jumlah mahasiswa hanya 14 orang, jumlah pengajar tetap tiga orang, dan hanya terdiri atas empat fakultas. Setelah 63 tahun, wajah Universitas Islam Indonesia banyak berubah. Bahkan -Hatta atau Natsir pun mungkin tidak mengira sekolah ini bisa berkembang pesat. Jumlah mahasiswa yang aktif kini 20 ribu orang, dosen tetap dan tidak tetap 900 orang, serta ada delapan fakultas yang siap menampung. Bahkan sekolah ini sudah berhasil membangun rumah sakit bertaraf internasional di Yogyakarta.

Tak hanya sekolah, kata Lutfie, Natsir juga turut memberikan sumbangan Rp 60 juta pada 1972 ketika Masjid Salman di ITB yang mulai dibangun sejak 1957 tak kunjung selesai karena kekurangan dana. Masjid itu akhirnya selesai juga dan menjadi masjid kampus pertama di Tanah Air. Gagasan mahasiswa mendirikan masjid di kampus itu lagi-lagi juga diilhami oleh pemikiran Natsir.

Natsir pula yang ikut mencarikan dana bagi pendirian Akademi Agama dan Bahasa Arab Bukittinggi yang didirikan pada 1975. Menurut Sekretaris Yayasan Aqabah Indra Syam, setelah dua tahun berdiri dan menumpang di gedung Sekolah Teknik Menengah Muhammadiyah, Natsir berhasil mengumpulkan dana untuk membangun kampus Aka-bah di Jalan Sutan Syahrir.

Sayang, sejak pemerintah meng-ubah kurikulum pendidik-an pada 1996, akademi ini berubah fungsi menjadi sekolah da-sar, sekolah menengah pertama, dan madrasah diniyah alawiyah. Kurikulum akademi ini harus disamakan dengan sekolah tinggi Islam lainnya. Tak ada lagi akademi yang tadinya bertujuan mendidik calon ulama.

Sampai akhir hayatnya, Natsir tetap konsisten dengan pilih-annya. Baginya, kaum muslim wajib memberikan suar kepada tiap-tiap pendidik muslim dalam mengemudikan perahu pendi--dik-annya.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/07/14/LK/mbm.20080714.LK127680.id.html

BEBERAPA KENANGAN

Lukman Hakiem, 51 tahun
(Anggota Dewan Perwakilan Rakyat/bekas redaktur Media Dakwah)

Saya mengenal Natsir ketika saya menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Islam di Yogyakarta pada 1983. Saya sering berkunjung ke kantornya di Dewan Dakwah di Jakarta. Ada beberapa kejadian yang selalu muncul dalam kenangan saya manakala saya mendengar namanya.

Pernah dia memarahi saya habis-habisan. Ini terkait dengan tulisan saya di majalah Kiblat. Untuk menarik pembaca, kami membuat laporan mengenai Al-Quran. Di sampul majalah, kami menulis judul: "Al-Quran Ditinjau Kembali". Ketika itu Pak Natsir berusia 79 tahun.

Ditinjau di sini maksudnya dibaca kembali. Saya berusaha menelepon untuk menjelaskan secara langsung, tapi telepon diangkat orang lain. Lalu Pak Natsir menelepon saya dan mengatakan, "Tidak ada bincang-bincang!" Telepon ditutup. Saya berpikir, "Habis nih, saya." Ternyata kemarahannya tak berlanjut.

Selanjutnya adalah perdebatan panas yang berakhir obrolan santai. Ini terjadi ketika saya bekerja di majalah Media Dakwah milik Dewan Dakwah. Suatu ketika, dia mengirimkan memo kepada pemimpin redaksi. Pak Natsir meminta majalah ini tidak memuat tulisan seseorang karena isinya dinilai bermasalah. Ini terjadi sekitar 1992.

Saya protes dan mendatangi rumahnya. "Apa bedanya Anda dengan Soeharto yang melarang penulisan?" Pak Natsir balas mendebat hingga menunjuk-nunjuk saya. Ini berlangsung sekitar setengah jam. Terkadang dia memukul meja di ruang tamu.

Meski alot, saya sebagai bawahannya tidak diusir, apalagi dipecat. Kami sepakat tak ada titik temu. Lalu kami alihkan pembicaraan ke topik lain. Dan dia bisa mengobrol dengan relaks bahkan tertawa. Pak Natsir mengantar saya sampai ke teras ketika saya pamit.

Chris Siner Key Timu, 68 tahun
(Penanda tangan Petisi 50)

Saya kenal Mohammad Natsir sebagai pelaku sejarah, sebagai mantan perdana -men-teri, pengusul Mosi Integral yang menyelamatkan terpecah-nya Indonesia. Kemudian ia menentang komunisme sehingga bentrok dengan Soekarno.

Sikap kritis terhadap pemerintah tetap ia perlihatkan di masa Orde Baru.

Kami bersama menandatangani Petisi 50 pada Mei 1980, yang isinya mempertanyakan pernyataan Presiden tentang asas tunggal. Pak Natsir selalu hadir dalam diskusi di rumah Ali Sadikin. Saya melihat dia gigih, tidak berjuang untuk kebanggaan dan kebesaran dirinya.

Hidupnya sederhana sekali. Hal itu ditularkan kepada kami yang muda-muda. Kalau berdebat amatlah santun. Tidak membalas kata-kata kasar. Saya tak pernah mendengar dia memaksakan pandangan, misalnya soal Islam. Dia mengirim bunga ke rumah saya kalau Natal, saya ke rumahnya setiap Lebaran di Jalan Cokroaminoto di Menteng, Jakarta Pusat.

Mohammad Chudori, 83 tahun
(Bekas wartawan Antara dan Jakarta Post)

Saya mulai berkunjung ke rumah Pak Natsir di Jalan Jawa 28, Jakarta Pusat, pada 1945. Waktu itu saya tinggal di Bogor dan menjadi salah satu pendiri Himpunan Mahasiswa Islam di sana. Rumahnya kecil, tapi penghuninya banyak sekali. Selain keluarga, ada sejumlah kerabat yang tinggal di sana. Saya menganggap rumah itu seperti rumah saya sendiri. Saya sering makan dan tidur di sana.

Sekitar 1948, saya menjadi letnan dua Tentara Keamanan -Rak-yat dan melatih Laskar Hizbullah di Bogor. Setelah Sili-wangi- hijrah ke Yogyakarta, Laskar masih menyimpan senjata. Waktu itu saya dihubungi utus-an Kartosoewirjo. Dia mengajak saya menjadi anggota Negara Islam Indonesia. Mereka ingin menguasai Laskar. Saya menjawab bahwa saya sudah dibaiat. Tapi utusan itu memaksa. Saya khawatir karena mendengar kabar ada kawan di Bandung ditembak karena menolak bergabung.

Saya pun menemui Pak Natsir. Dia dengan tenang menjawab, "Hanya kamu yang bisa memutuskan mau bergabung dengan mereka atau tidak." Saya akhirnya memutuskan tetap bersama Hizbullah dan Masyumi.

Herman Nicolas Ventje Sumual, 85 tahun
(Proklamator Permesta)

Saya pertama kali bertemu dan berkenal-an dengan Mohammad Natsir pada 1957 di Padang, Sumatera Barat. Ketika itu kami membicarakan rencana Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia. Selain kami, yang hadir ketika itu antara lain Sjafroeddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, dan Sumitro Djojohadikusumo. Pertemuan ini berlangsung karena tidak ada kelanjutan dialog di Jakarta untuk menyatukan kembali dwitunggal Soekar-no-Hatta.

Dari persinggungan saya dengan Natsir, saya harus jujur mengatakan dia adalah sosok pemimpin bangsa.

Setelah itu, saya tidak banyak berhubungan dengan dia hingga kemudian kami bertemu kembali dengan status tahanan setelah Jakarta memberangus pergolakan. Kami ditempatkan di Rumah Tahanan Militer Jakarta. Saya -ingat pada setiap akhir tahun masing-masing tahanan berpidato. Ketika gilirannya tiba, Natsir selalu mengucapkan: "Mudah-mudahan ini pidato kita yang terakhir."

Setelah peristiwa 30 September 1965, orang-orang Partai Komunis Indonesia bergabung bersama kami di tahanan. Setahun kemudian, 26 Juli, datanglah Adnan Buyung Nasution-yang ketika itu sebagai jaksa. Dia membawa surat dan mengumumkan kepada kami: "Bapak-bapak mulai hari ini bebas."

Amien Rais, 64 tahun
(Bekas Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat)

Pertama kali mengenal Natsir secara pribadi setelah 1980-an. Saya sering ke rumahnya di Menteng, ke Masjid Munawwarah di Kebon Kacang, kemudian Dewan Dakwah di Gang Kramat, Jakarta Pusat. Di rumahnya terpampang potongan ayat terakhir surat Al-Ankabut, yang menyerukan manusia berjuang ikhlas di jalan Allah. Saya kira ini yang men-jadi dorongan se-mangat dia -berjuang.

Jauh sebelum kenal dekat, saya sudah akrab dengan namanya. Kebetulan ibu sa-ya pengagum Natsir. Suatu ke-tika Natsir datang ke Solo ada ra-pat Masyumi. Saya bangga sekali karena saya membacakan Al-Quran dalam acara tersebut. Ketika itu saya kelas VI sekolah rakyat. Toh, ibu saya sempat kecewa melihat Natsir memegang gelas dengan tangan kiri. Rupanya di mata Ibu, Natsir harus sem-purna.

Pada 1957, ketika saya kelas I sekolah menengah pertama, terjadi peristiwa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta. Ibu mengatakan, kalau Natsir menang, kita pindah ke Padang. Terpengaruh Ibu, saya mulai kagum kepada Natsir. Saya makin kagum ketika membaca buku karangannya, Ca-pita Selecta. Ia me-nguasai ilmu aga-ma dan pengetahuan umum yang luas.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/07/14/LK/mbm.20080714.LK127681.id.html